Jumat, 09 November 2007

BE YOUR SELF…! NO MATTER WHAT THEY SAID.

-Kenalilah Dirimu Sendiri…!-

Aku ingin berbicara mengenai diriku sendiri. Karena kadang-kadang kita yang suka berbicara mengenai orang lain lupa akan dirinya. Aku juga tidak akan menggurui bagaimana caranya kita menjalani hidup karena, aku juga belum berpengalaman. Aku tidak akan membicarakan orang-orang yang sukanya curiga kepada temannya. Aku tidak akan membahas mengenai filsafat kehidupan. Aku hanya ingin merenungi diri sendiri. Aku yang tidak suka dikritik oleh orang lain sebab aku merasa benar dan selalu benar sementara orang lain adalah salah dan selalu salah. Aku ingin menang dan selalu menang sementara orang lain selalu kalah dan harus kalah. Sekali lagi aku ingin berbicara mengenai diriku sendiri. Kalau Coelho mengatakan bahwa kisah satu manusia adalah kisah seluruh manusia, maka mungkin kisahku adalah kisahmu juga.

Filsuf Yunani mengatakan kenalilah dirimu sendiri. Memangnya seberapa penting sih kita mengenali diri kita. Kalau dalam ajaran Islam ada sebuah hadits atau tepatnya pepatah yang sering digunakan oleh para sufi stigma itu adalah من عرف نفسه فقد عرف ربه. Barang siapa yang telah mengenali diri maka ia [berkesempatan lebih banyak untuk] mengenali Tuhan. Kalau kita kaitkan kepada kepentingan transenden memang begitu adanya. Salah satu jalan untuk mengenali Tuhan, kita kenali dulu diri kita sendiri.

Maka ketika aku mulai mengenali diriku sendiri. Aku sempat bingung karena mendapati labirin-labirin gelap kosong dan kerap kali membuat kita tersesat. Aku tak menemukan apa-apa. Apa yang harus aku gali dalam diriku ini. Tak ada apa-apa. Kalaupun yang dimaksudkan dengan mengenali diri adalah identitas maka kenapa harus repot tinggal merujuk aja ke akta kelahiran. Saya lahir di anu, bulan anu tanggal anu, anak anubla-bla-bla … dan selesai sudah. Apakah hanya itu. Dan ternyata bukan itu yang dimaksud.

Kemudian aku beranjak ke pertanyaan yang lebih mendasar bukan lagi merujuk ke akta kelahiran dan KTP. Aku mulai menanyakan kenapa aku lahir, kenapa aku ada di bumi ini. Maka aku mendapatkan kesan bahwa aku memang mesti ada di bumi ini, aku mesti lahir. Dan kadang kala ketika sudah buntu, aku mulai mencari kambing hitam … Tanyain atuh sama Tuhan kenapa melahirkanku. Aku juga nggak ingin lahir. Emangnya Tuhan … yang melahirkan. Aku nggak ambil pusing kenapa aku lahir… ah pokonamah aku lahir tanpa embel-embel pertanyaan. Dedlock!aku tak bisa menjawab kenapa aku lahir.

Tapi, ketika aku hentikan pertanyaan itu eh malah menjadi-jadi menusuk jantung limpaku. Maka mau tak mau aku mencari lagi alasan aku lahir. Masa aku harus menjawab, kenapa aku lahir, karena ibu dan bapak kita melakukan hubungan intim terus setelah itu lahirlah anak dan anak itu aku. Betapa tidak berartinya aku hidup ini. Hanya berasal dari nafsu manusia, maka tak salah kalau orang-orang sekarang ini memaksakan nafsunya karena arti kelahirannya hanya berawal dari nafsu dan beraksir dengan nafsu. Ah … Tuhan, Tuhan kenapa kau ciptakan aku? Apakah tak ada petunjuk untuk menjawab alasan keberADAanku di bumi ini?

Eureka…! Aku mulai mendapatkan jawabannya. Kenapa aku lahir? Karena Tuhan PERCAYA sama kita. Logikanya kaya gini, dalam al qur'an disebutkan bahwa tuhan akan menciptakan manusia dan menjadikannya khalifah di muka bumi ini. Khalifah itu artinya yang mengurus bumi ini, yang mengolah bumi ini. Nah, dalam al qur'an ternyata aku adalah khalifah. Dalam hadits dikatakan bahwa setiap dari kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Setelah itu, kita ternyata adalah khalifah yang diPERCAYA tuhan untuk mengurus bumi ini. Kita dipercaya untuk memimpin makhluk-makhluk lain. KITA ADA KARENA KITA DIPERCAYA.

Ditambah, dari sekian sperma yang berhasil lolos adalah kita. Kita adalah JUARA. Tetapi kenapa aku bukan yang lain? Karena kita dianugerahi akal, terus hawa nafsu. Malaikat 'kan nggak? Hewan nggak? Hanya kita! dalam al qur'an disebutkan bahwa kita ini adalah sesempurna bentuk. Bentuk kita ini adalah sempurna, tetapi aku juga yang menyadari, kita ini dalam bentuk yang sempurna tetap minder, kenapa ya?

Pertanyaan kita sudah terjawab. Kenapa kita ada karena kita dipercaya. Tinggal bagaimana kita bisa memegang kepercayaan itu. Kita seyogyanya merasa tersanjung karena mendapat kepercayaan dari tuhan. Sederhananya, bagaimana rasanya kalau kita mem(p)ercayai orang dan ternyata orang itu berkhianat. Sakit bukan? Pengen nonjok! Sekarang bayangkan tonjokkan tuhan itu kayak gimana. Kalau aku, jadi kepikiran bahwa musibah, bencana alam, krisis moneter, dan berbagai kemelut yang dialami oleh bangsa kita adalah TONJOKAN dari tuhan, sebenernya bukan tonjokkan tapi tapi hanya goderan. Tonjokkan itu nanti kiamat.

Pengenalan diri ini adalah sebuah urgensi yang mesti ada dalam setiap kurun hidup manusia untuk mencapai peradaban yang lebih beradab. Dalam kajian psikologis pengenalan dir ini dinamakan dengan konsep diri. Dalam konsep diri ini dibentuk bagaimana pandangan dunia, way of life, weltancshauung, seseorang dibangun. Pandangan dunia ini dibentuk dari bahan-bahan yang parsial kemudian diformulasikan menjadi bentuk konsep yang utuh dan idealnya membimbing, menjadi acuan dan formatan dalam bersikap.

Lantas bagaimana caranya membuat atau membentuk konsep diri ini, sejatinya pertanyaan ini menanyakan bagaimana pandangan dunia ini dibentuk. Sekarang kita bahas dulu mengenai pengetahuan dalam konteks Sosiologisnya. Sebab hal ini terkait erat dengan prosesi pengetahuan. Padangan dunia berasal dari bahan pengetahuan kita sehari hari atau common sense Namun celakanya, ditengah kehidupan bermasyarakat, banyak sumber pengetahuan yang bersifat taken for granted, misalnya konsep negara yang diajukan oleh Gramsci (lihat dalam Negara dan Kekuasaan). Sumber yang tanpa perlu diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas kehidupan ini.

Masyarakat dapat langsung begitu saja memakai pengetahuan taken for granted tersebut sebagai sebuah pandangan yang diyakini benar atau berguna untuk memahami dunia di mana manusia hidup. Jenis pengetahuan yang "tanpa perlu diolah lagi" tersebut tentu saja banyak dan tersebar, mulai dari sistem keyakinan, tradisi, agama, pandangan hidup, ideologi, paradigma dan teori.

Nah, setelah diyakini bahwa pengetahuan yang kita dapatkan ternyata banyak yang kita sendiri tidak terlalu tahu bagaimana asal usulnya; kenapa begini kenapa begitu. Namun sialnya, kita yang sebenarnya celingak-celinguk tentang pengetahuan itu ketika ada orang yang menanyakan sombongnya naudzubillah! Serasa hanya kita saja yang tahu, padahal pengetahuan kita belum tentu benar.

Untuk menyeimbangkan dan lebih menegaskan maka disinilah teori diperlukan dan menjadi penting. Teori sebenarnya bukan untuk kalangan intelektual atau kalangan expert an sich. Meski tidak sedikit yang berpandangan bahwa hanya kalangan intelektual atau akademisi saja yang membaca realitas sosial tidak dengan mata telanjang, melainkan dengan kacamata teori tertentu. Memang telah menjadi tradisi kalangan intelektual untuk membaca dunia menggunakan bingkai teori tertentu.

Ada yang menempatkan teori sebagai unsur utama dan pertama dalam memulai kajian ilmiah, oleh karena itu ada ungkapan no problem no science. Dalam konteks ini, teori bukan unsur pertama, melainkan hanya diposisikan sebatas pemberi inspirasi untuk mempetajam pencerapan realitas dan upaya pemecahan masalah dalam kehidupan ini.

Sesungguhnya Robert N Bellah mengatakan tidak ada realitas kehidupan yang dibaca telanjang dalam arti sebagaimana adannya. Cara kerja kaum intelektual, setiap kali kita harus melahirkan karya inteletualnya, memang tidak bisa lepas dari teori atau setidak-setidaknya tak bisa dipisahkan dari pengalaman pribadi nilai dan pangdangan dunia tertentu. Bahwa karya setiap orang bahkan ahli fisika nuklir sekalipun, berakar dalam mitos pribadi, dalam makna karyannya yang unik dan sebagian tidak disadari bahkan oleh dirinya sendiri.

Namun hal ini tidak dispesialkan hanya bagi kalangan intelegensia saja. Masyarakat awam sekalipun, seperti kita, sadar atau tidak, melihat realitas sosial tidaklah setelanjang yang dibayangkan orang. Setidaknya kalau toh tidak bisa dikatakan sebagai teori, maka sebuah pemahaman atas realitas yang dilakukan orang awam sekalipun selalu ada elemen yang bersumber dari bayangan mitos dan pengalaman batin secara pribadi.

Pengetahuan kita ini terdiri dari pengetahuan kita, itself yang terkait dengan pengetahuan aspek psikologis kita seperti arti hidup, mati, bahagia, sedih ; dan pengetahuan lain, otherself yang berkaitan dengan konteks sosial seperti; pengetahuan mengenai orang lain, masyarakat, bagaimana kita memandang realitas, pernikahan, dan lainya. Kumulasi pengetahuan-pengetahuan kita dan lain akan berkumpul dan menyusun sebagai bahan mentah padangan dunia dan membentuk konsep diri.

Kepentingan teori adalah memberi landasan bagi manusia melihat realitas kehidupan ini dari dimensi yang lebih inklusif mupun teori substansial yang memungkinkan manusia melihat realitas kehidupan ini secara partikular.

Sekarang mari kita bahas mengenai padangan dunia atau sering disebut dengan paradigma. Teori memang bukanlah sebuah pandangan dunia, tetapi ia memilik beberapa titik singgung. Betapapun teori dinyatakan bebas nilai, pada kenyataanya ia juga merukan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu. Oleh karena itu pada bagian ini mengajak untuk memahami seputar pandangan dunia, menyangkut konsep, elemen yang membedakannya dari sebuah paradigma berpikir.

Pandangan dunia dilihat dari segi isi memuat semua hal dan dari segi pengikut bersifat menyebar. Gamabaran tentang segala sesuatu dimunculkan dan persepsi yang kita peroleh dari penglihatan kita terhadap dunia sekitar. Karena padangan dunia yang dominan pada umumnyua dimiliki dan dijadikan pegangan oleh hampir seluruh anggota masyarakat, maka biasanya pandangan itu menjadi landasan masyarakat mendefinisikan realitas sosial.

Olsen mengartikan pandangan dunia sebagai "teropong mental" atau peta kognisi dan persepsi uang senantiada kita pakai untuk merumuskan cara hidup kita di tengah masyarakat. Menurut Olsen pandangan dunia yang berlaku du masyarakat bukan fenomena tunggal. Pandangan dunia tidak hadir sendirian, melainkan diiringi oleh berbagai pandangan dunia lain atau pandangan dunia alternatif.

Hanya masalahnya adalah seberapa jauh manusia dapat mengaktualisasikan pandangan dunia ke tengah kehidupan di mana ia hidup. Bisa nggak orang-orang melaksanakan apa yang diyakininya bener, bisa nggak melaksanakan apa yang sudah di omongin seperti yang rendra katakan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

Dalam hal ini, Olsen menemukan realitas yang menunjukkan bahwa pada umumnya orang suka beranggapan bahwa mereka menjaga konsistensi antara tindakan dengan pandangan dunia yang dimilikinya yang relatif utuh dan terjaga. Berbagai peristiwa yang merka hadapi mereka antisipasi dan respon berdasarkan cara-cara yang dinilainya sejalan dengan pandangan dunia yang mereka miliki, walaupun kenyataannya sering tidak menggambarkan konsistensi itu.

Misalnya, seorang pemimpin politik berpandangan bahwa memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan publik adalah sebuah keharusan tetapi ternyata tidak sedikit pemimpin yang bertindak tidak jujur. Mereka sepenuhnya memperhatikan kepentingan publik , kendati demikian mereka tidak mau dikatakan mengabaikannya. Mereka akan berkilah dengan menyatakan telah melakukan yang terbaik, padahal beberapa jaringan koordinasi dipangkas untuk kepentingannya. Dengan demikian mereka berusaha mencitrakan diri sebagai orang yang konsisten dan menolak telah bertindak atas dasar kepentingan mereka sendiri. Mereka dengan berani mengorbankan rakyat bahkan kekasihnya sendiri namun sayangnya kekasihnya juga tidak sadar bahwa sudah diperalat. Maka kita akan berkata cinta akan membutakan segalanya dan sekali lagi cinta tak membutuhkan logika.

Ketika tindakan seorang pemimpin politik menyimpang dari pandangangan dunianya maka dengan retorika ia akan mengalihkan model pemahaman peristiwa dengan membangun argumen misalnya apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang secara fungsional memang diperlukan, kerja kita memang udah maksimal katanya, kemudian mencari kambing hitam lainya maka takdir lah disalahkan bahwa kegagalan karena memang di luar jangkauan kita, selanjutnya mengendus-ngendus jikalau ada ayang mencium bau busuknya kemudian retorika orang kalah pun digunakan argumentasi kemanusiaan menjadi andala. Dengan kata lain kebohongan publik boleh dan perlu dilakukan untuk kepentingan keamanan nasional. Karena terdesak dengan keadaan tidak ada koordinasi kerja maka dilakukan oleh orang-orangnya saja. Jadi pandangan dunia seseorang bisa saja dan sering mengandung sejumlah kontradiksi.

Untuk mempermudah memahami sejumlah kontradiksi yang telah diutarakan dalam pandangan dunia maka perlu diurai sedikit mengenai, apa saja yang menjadi elemen padangan dunia. Dengan demikian menjadi tak terelakkan harus dimulai dengan mempelajari keyakinan atau sistem-sistem keyakinan serta nilai-nilai sosial tersebut.

Keyakinan, menurut Olsen, adalah gagasan spesifik mengenai berbagai aspek kehidupan yang diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh pemiliknya, tanpa memperdulikan munculnya berbagai fakta yang menyimpang dari apa yang diyakini tersebut. Sistem keyakinan merupakan merupakan dasar-dasar interrelasi keyakinan dari berbagai keyakinan yang berkaitan dengan kondisi sosial atau tipe aktifitas yang beraneka ragam.

Pada umumnya, kita cenderung lebih menyadari akan keyakina-keyakinan serta sistem keyakinan kita sendiri dari pada memahami pandangan dunia yang kiya miliki. Untuk maksud tertentu, biasanya kita bertindak secara rasional untuk menerima keyakinan-keyakinan dan sistem keyakinan kita, dan di saat lain kadang-kadang memilih dan memodifikasi ayai bahkan menolaknya.

Begitulah padangan secara teoritis bagaimana pandangan dunia dibentuk. Sekarang kita coba terapkan kepada orang yang memiliki pandangan dunia bahwa orang lain adalah penjara. Dengan alasan bahwa orang lain kadang memenjarakan kita. Kita ingin ini-itu, tanpa sadari, selalu dikontrol oleh orang lain. Kita ingin dilihat cantik dan tinggi maka kita terpaksa pake hak tinggi padahal kita sakit, lecet-lecet. Maka kita menyebut bahwa orang lain adalah penjara. Dan kita mengambil sikap jangan terlalu ngurusin dan nurutin perkataan orang lain. Kata orang lain kita ini feminis, kata orang lain pacar kita ini playboy memperalat, kata orang lain kita ini sombong, suka nyampurin urusan orang lain, kata orang lain kita bagusnya pake rok, kata orang begini dan begitu. Ucapan yang sering kita dengar adalah "malu atuh dilihatin sama yang lain" atau "gimana pandangan orang lain ya kalau saya begini" Dan kita nurut. Maka kita TERPENJARA dengan omongan orang lain. Kita berteriak ORANG LAIN ADALAH PENJARA…! JANGAN DENGERIN ORANG LAIN…! Jadi diri sendiri aja! Orang lain itu ngiri. Kita serta merta bertindak seenak kita, seenak udel, nggak mau 'dengerin nasehat oranglain, saran orang lain, kita lempeng aja. Karena orang lain adalah penjara. "Terserah gua, hidup hidup gua, apa urusannya dengan lo"

Tetapi disisi lain, ternyata omongan orang lain itu benar dan terbukti. Bahwa kita itu sombong, bahwa pacar kita itu playboy dan memperalat saja buat kepentingannya, bahwa kita itu jelek kalau nggak pakai rok, bahwa kita itu suka nyampurin urusan orang lain. Ternyata omongan orang lain itu benar. Jadi bagaimana? Keyakinan kita selama ini salah? Ucapan yang terdengar adalah "ah nggak, di mata gua pacar gua itu jujur. Nggak kaya gitu".

Dalam kasus ini, siapa yang mengetahui diri kita. Siapa yang benar, siapa yang salah. Misalnya, kita berkata kepada orang lain; bahwa kita itu pinter,jujur dan sebagainya. Tetapi orang lain nggak ngeliat kita kaya gitu. Maka secara otomatis orang lainlah yang banyaknya mengetahui kita ini kaya gimana, bukan diri kita lagi. Sebab, menurut Freud, kadang-kadang KITA NGGAK SADAR bahwa memang kita ini blo'onnya naudzubillah nggak ketulungan.

Lalu siapa yang benar aku atau orang lain? Tidak ada yang benar tidak ada yang salah. Yang salah itu kalau kita nggak 'nerima omongan orang lain, merasa kita benar padahal jelas salah. Yang jelek itu kalau kita nggak introspeksi diri. Salah NGOTOT lagi. Karena disatu sisi, kita adalah diri kita sendiri dan disisi lain kita adalah orang lain. Jalan tengahnya. Ucapan Voltaire sangatlah cocok "perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, karena itulah inti ajaran kemanusiaan". 'Dengerin perkataan orang lain dengan tanpa kecurigaan dan jangan mengangap diri kita ini benar. Selanjutnya hiduplah seperti biasa.

Itulah kontradiksi yang sangat kompleks dalam pandangan dunia atau konsep diri. Yang sangat berimbas kepada sikap hidup dan bagaimana kita menjalani rutinitas sehari-hari. Konsep diri ini menjadi sangat penting untuk mengatur sikap kita supaya lebih mantap dan tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Upaya menjauhi split personality, dan alienasi yang dikatakan oleh Erich Fromm. Untuk menutup akan saya kutipkan kata dari Bunda Theresa. Terimakasih teman, memberikan inspirasi tulisan ini. Dan cepat berubahlah kalau tidak aku yang berubah. Wallahu a'lam bish showab

Orang kerap kali tak bernalar, tak logis dan egosentris. Biar begitu, maafkanlah mereka.

Bila engkau baik, orang mungkin akan menuduhmu menyembunyikan motif yang egois. Biar begitu, tetaplah bersikap baik.

Bila engkau mendapat sukses, engkau bakal pula mendapat teman-teman palsu dan musuh-musuh sejati. Biar begitu, tetaplah meraih sukses.

Bila engkau jujurdan berterus terang, orang mungkin akan menipumu. Biar begitu, tetaplah jujur dan berterus terang.

Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin akan dihancurkan seseorang dalam semalam. Biar begitu, tetaplah membangun.

Bila engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri. Biar begitu, tetaplah berbahagia.

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, sering bakal dilupakan orang keesokan harinya. Biar begitu, tetaplah lakukan kebaikan.

Berikan pada dunia milikmu yang terbaik, dan mungkin itu tak akan pernah cukup. Biar begitu, tetaplah berikan pada dunia milikmu yang terbaik.

Ketahuilah, pada akhirnya, sesungguhnya ini semua adalah masalah antara engkau dan Tuhan; tak pernah antara engkau dan mereka.

-Bunda Teresa-

02 juni 2006

Tidak ada komentar: