Senin, 07 April 2008

menyerang

Menyerang Rutinitas

1

Aku tak mau mengawali tulisan ini dengan sebuah definisi, kebiasaan yang sudah kujalani selama ini dalam menganalisa makna sebuah reklame.

Aku tak akan mengartikan rutinitas itu apa, mengapa bisa menjadi sebuah rutinitas, bagaimana prosesnya dan lain sebagainya. Aku bosan dengan cara itu; sebuah pelacakan epistemologis yang hanya membuat hayat menjadi mayat sekarat tak bisa menghayat.
Diriku kini telah jatuh dan tenggelam dalam waktu yang aku sendiri tak mengenali, sebuah waktu yang sangat abstrak dan semakin menjadi misteri. Aku meronta pengin keluar. Mungkin sungguh aku ingin keluar tapi sungguh tak bisa. Segalanya tampak samar, kabur dan seperti akan hancur. Batu karang itu. Tebing kepribadian itu. Bendungan transenden itu. Semuanya seakan telah lebur oleh serbuan pasukan praduga dan keraguan.
Aku ragu maka aku ada, begitu tutur Descartes. Tapi sungguh kalau aku meragukan segala sesuatu maka apa yang harus kuyakini, sebab aku tak bisa hidup dengan berpijak dengan keraguan. Mesti ada sesuatu yang kupercaya dengan pasti. Hidup dalam keraguan seperti mengambang di tengah lautan lepas tanpa batas. Apa yang bisa menjamin bahwa semangatku meragukan segala sesuatu juga adalah sebentuk keraguan. Tuhan yang jadi jaminan, begitu seterusnya Descartes memberikan jaminan. Tuhan? Ya Tuhan?!
Tuhan, pagi ini kompas kehidupanku mendadak boyak, tak lagi menunjukkan arah. Hanya satu yang masih bisa aku katakan: aku harus mulai menerjemahkan tetapi apa yang harus aku terjemahkan? Keadaanku sendiri, kondisi yang sudah mati?! Sebelum berarti? Keadaan yang dulu pernah sering aku alami yakni tak menginginkan apa-apa sebab sebuah hati terlampau berat untuk berkeingin satu keinginan saja.
Bagaimana terjebak dalam sebuah rutinitas? Dari pagi sampai malam kita mengerjakan itu-itu saja selama setahun, selama dua tahun.. selamanya. Apa yang mendorong orang menjauhkan diri dari rutinitas? Kebosanan. Kejenuhan. Tetapi bukankah ketika seseorang menjauhkan diri dari rutinitas dengan melakukan kegiatan yang baru, apakah ada jaminan bahwa kegiatan yang baru itu tidak akan menjadi rutinitas?
Seperti halnya seorang yang membunuh dan dibunuh keduanya masuk neraka. Dengan alasan bahwa orang yang dibunuh hanya sedang sial saja, kalau dia mendapat kesempatan keadaan akan menjadi terbalik, dia akan membunuhnya. Keduanya mempunyai motif yang sama yakni membunuh.
Seperti halnya dalam politik ketika sebuah kelompok mengkudeta sebuah kepempimpinan yang sah dengan tuduhan otoriter, totaliarianisme maka ketika kelompok itu berhasil menggulingkan, mereka akan menjadi otoriter, totaliarianisme yang baru. Tirani yang dilawan dengan tirani akan melahirkan sebuah tirani dengan gaya baru. Yang ditindas melawan penindas akan keluar menjadi penindas baru.
Aku tak bisa keluar dari jalan pikiran ini, kegiatan baru sebagai lawan dari rutinitas malah akan keluar menjadi rutinitas yang baru. Sampai sekarang aku masih meyakininya.
Paling tidak, aku harus mencari jalan keluar, untuk menjawab beberapa pertanyaan ini; apa yang membuat saya ingin keluar dari rutinitas? Apakah rutinitas begitu menyeramkan dan menyesakkan? Apa yang menjadikan kegiatan baru—yang pada awalnya sebagai denial dari rutinitas malah—menjadi menjadi antek tirani rutinitas yang baru?

2

Untuk jelajah pertama saya ingin menyitir ungkapan dari guru filsafat saya—yang mengatakan “kita harus serius jadi manusia”—tentang rutinitas, dia mengatakan :
“Rutinitas itu, kalaupun kita lakukan hari ini, sebenarnya berasal dari masa lalu atau untuk masa depan. Rutinitas adalah jebakan kebiasaan, karena kemarin begini maka besok juga begini, dan seterusnya. Di tengah rutinitas itu, tentu saja, kita jadi bagian dari kehendak bukan kita”.
Saya memang melihat nuansa kebencian dan resistensi yang mendalam terhadap rutinitas ini. Padahal saya bisa mengatakan bahwa apa yang kita lakukan selama ini tak lain adalah rutinitas; pada waktu malam kita tidur, sewaktu lapar kita makan, haus minum, mules kemudian buang air besar dan seterusnya.
Dalam hidup ini apa yang memungkinkan kita untuk mengelak dari rutinitas. Kita seolah tak bisa meminggirkan rutinitas. Sebab rutinitas sudah menjadi hidup itu sendiri, menyangkal rutinitas, berarti menyangkal diri kita dan itu artinya mati.
Lantas apa itu rutinitas sehingga begitu membahayakan hidup; apakah makan, minum dan kegiatan semacamnya dapat disebut rutinitas. Kalau iya, kita tak bisa lari dari rutinitas itu.
Pada satu hal saya sepakat dengan guru saya itu bahwa rutinitas menjadikan kita bukan dari kehendak kita, sebab rutinitas membius diri kita untuk melakukan ini dan itu tanpa bertanya untuk apa kita melakukan ini dan itu.
Dalam hal ini aku bisa memastikan bahwa makan, minum, tidur tidak termasuk dari definisi rutinitas. Makan tidak tergolong kepada rutinitas tetapi kebutuhan. Beda kebutuhan dengan rutinitas sekalipun kedua-duanya sama berbentuk tindakan. Kebutuhan tidak dapat dipenuhi selain dengan kebutuhan itu sendiri, misalnya kebutuhan makan. Kita tak dapat memenuhi kebutuhan makan dengan selain makan, tidur, berhubungan seks misalnya.
Bermain, berpikir, berhubungan seks atau tidur memang bisa menunda kebutuhan makan tetapi hanya untuk sementara. Pada saatnya nanti kebutuhan makan itu akan datang lagi dan menagih. Kita tak bisa membayar kebutuhan makan kecuali dengan makan. Alangkah benarnya ungkapan Ahmad Wahib bahwa makan adalah perkara yang harus segera dituntaskan. Kalau tidak segera dituntaskan maka ia akan mencari jalan untuk menuntaskannya. Sama seperti halnya dengan tidur, berhubungan seks, kentut, berak dan kebutuhan fisik lainnya.
Singkatnya kebutuhan fisik dalam dirinya sendiri (being it self) tidak dapat disebut dengan rutinitas. Lantas apa yang dimaksud dengan rutinitas?
Kalau kita mengenal pengistilahan esensi (substansi, isi) dan form (bentuk) maka yang dimaksud dengan rutinitas dapat disamakan dengan bentuk. Mari saya jelaskan dengan analogi seperti ini; makan adalah esensi yang substansinya adalah untuk menghilangkan rasa lapar.
Kenapa rasa lapar harus dihilangkan? Sebab untuk bertahan hidup kita mesti dalam keadaan tidak lapar, ketika kita kelaparan maka menurut perhitungan medis kita akan mati (meski sesungguhnya saya sendiri masih meragukan apakah kelaparan menyebabkan orang mati?).
Dalam kerangka esensi, makan hanya sebatas matter atau thing, terserah kita mau makan apa saja yang jelas bisa mengatasi rasa lapar. Ketika kita memutuskan untuk makan maka selanjutnya kita memikirkan makan apa (form).
Nah, manakala kita sudah memikirkan mau makan apa—apalagi sampai dimana—kita sudah sampai pada apa yang dinamakan dengan rutinitas. Lho? Ya. Sebab rutinitas adalah segala sesuatu hal yang berkaitan dengan form; semisal jenis, waktu dan tempat.
Untuk bangsa Indonesia, apakah rasa lapar bisa dihilangkan dengan makan roti? Jawabannya tentu bisa. Tetapi mengapa kebanyakan bangsa Indonesia belum bisa makan kalau belum makan nasi? Nasi dan roti adalah form oleh karena itu dinamakan dengan rutinitas, sedangkan mengenyangkan adalah esensi. Esensi ini bisa didapatkan dengan apa saja; roti, kacang, jagung dan lain sebagainya. Apakah makan manusia bisa mengenyangkan? Bisa!? Tapi? Kita ganti topik pembicaraan.
Rutinitas ini kadang berubah menjadi sebuah kepercayaan yang sangat dogmatis sehingga ketika orang belum melakukannya dianggap belum sempurna atau cacat bahkan dosa. Anggapan semacam inilah yang membuat rutinitas sedemikian menyeramkan. Karena rutinitas membuat hal yang sebenarnya irasional menjadi rasional.
Mengapa kita merasa belum makan padahal kita sudah makan roti? Jawabannya memang sangat tidak masuk akal, tetapi semua orang menerimanya.
Itulah yang dinamakan dengan rutinitas.

3

Lantas kenapa kita (harus) pengin keluar dari rutinitas? Menurut guru saya dalam rutinitas itu kita jadi bagian dari kehendak bukan kita. Otomatis kita dikendalikan oleh sesuatu yang bukan diri kita, lalu apa? Ya. Rutinitas itu sendiri.
Mengapa bisa? Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia, begitu kata peribahasa Italia. Pada mulanya kita memperbaharui cara kerja dengan mesin kemudian mengambil cara kerja mesin sebagai model hidup.
Begitu juga dengan rutinitas, pada mulanya kita menggunakan rutinitas sebagai alat untuk membantu kita mempertahankan hidup, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita mengatur tindakan-tindakan kita, menjadwal segala tindakan yang akan kita lakukan; sekarang ini, besok itu dan lain sebagainya
Pada tahap ini rutinitas menghamba pada diri kita sebab kita yang mengendalikannya tapi lambat laun rutinitas berbaling menyerang diri kita. Penyerangan rutinitas ini dilakukan tanpa sadar sebab kita sendiri yang menyerang diri kita. Tindakan dan kebiasaan yang kita jadwalkan dan lakukan sehari-hari berubah menjadi sebuah sistem yang lamat-lamat menggerogoti diri kita sendiri.
Seperti lalat yang—diceritakan dalam novelnya Matthew Pearl, The Dante Club—mengerenyam jasad manusia. Pada mulanya memang tidak terjadi apa-apa tetapi lama kelamaan lalat itu menjadikan tubuh kita sebagai sarang untuk bertelur dan menimbulkan kebusukan sehingga ulat-ulat kemudian datang dan begitulah cara kita mati. Alangkah benarnya bahwa lebih baik kita mati sekali tembak daripada mati perlahan dengan menahan radang kesakitan.
Segala kemauan yang memang murni berasal dari diri kita sendiri menjadi boomerang yang berbalik menyerang diri kita sendiri. Rutinitas yang pada mulanya adalah bentukan kita sendiri untuk mencapai tujuan tertentu kini telah memiliki tujuannya sendiri yakni menjalankan diri kita dalam jebakan dan jejaring ulat busuk rutinitas tanpa henti.
Sekali lagi mengapa mesti dilawan? Sebab lambat laun kita sudah berubah menjadi mesin bukan pengatur mesin, sebab lamat-lamat tubuh kita akan busuk dan dengan cara membusuk itulah kita akan mati. Sungguh kita akan menjadi bangkai sebelum menjadi mati, seperti mayat hidup!
Pasti ada sebabnya kenapa rutinitas menjalin relasi antagonis dengan diri kita bukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan sitir kan sebuah sajak klasik dari Rendra kesadaran adalah matahari. Ya. Kesadaran layaknya sebuah matahari yang sanggup menyinari seluruh makhluk di bumi ini sepanjang ribuan abad lamanya.
Karena secara tidak sadar kita telah membuatnya demikian, kita sendiri yang telah membentuk monster itu sedemikian rupa. Relasi rutinitas dengan kita ini tak ubahnya seperti yang dikabarkan oleh cerita novel Frankenstein. Bagaimana cara untuk melawannya. Lawanlah diri sendiri! Dalam ungkapan yang lebih sufistik kenalilah dirimu sendiri sebab barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal tuhannya.
Memang dengan rutinitas kita berubah menjadi bukan diri kita melainkan sebuah sekrup yang melengkapi jalannya mesin besar yang bernama rutinitas. Salah satu cara untuk mengenali diri sendiri adalah dengan berefleksi. Dalam rutinitas kita jarang menemukan ruang untuk berefleksi karena semuanya telah diatur sedemikian rupa untuk mencapai tujuan hidup tertentu. Dalam istilah strategi organisasi ada yang dikenal dengan sebutan evaluasi dalam bahasa yang lebih agamis muhasabah, introspeksi.
Dengan merefleksi kita menyerang rutinitas sekaligus menyerang diri kita sendiri. Itulah mengapa banyak orang jarang melakukan refleksi, sebab manakala merefleksi dia menemukan pelbagai kebusukan dan kebejatan yang tertanam dirinya sendiri. Dia tidak mau mengakuinya kemudian menyangkalnya akhirnya menjadi orang lain. Menjadi bukan dirinya sendiri.
Kuingatkan benar apa yang dikatakan padi dalam lirik lagunya sang penghibur;
bahwa hidup adalah perhentian,
tak harus kencang terus berlari…

4

Akhirnya, dengan ziarah benak ini kita menyadari bahwa yang membuat rutinitas sedemikian menyeramkan itu tak lain adalah diri kita sendiri. Dengan formula ini sesungguhnya ketakutan akan munculnya rutinitas baru setelah serangan akan rutinitas lama (seharusnya) musnah sudah namun sejujurnya dalam pikiran saya masih meragukannya. Benarkah formula ini dapat lebih membuat kita menjadi manusia?
Ketakutan yang pada gilirannya menjadi sebuah keraguan ini dikarenakan tak ada jaminan bahwa kita akan terus “sadar”. Adakalanya kita tidak sadar akan diri kita sendiri apalagi dengan rutinitas yang “berada di luar diri kita”. Mungkin tema ini akan menjadi topik baru dan judul baru, untuk sekarang sampai disini serangan terhadap rutinitas. Berakhir. Wallahu ‘alam bil qolam.

Rabu, 20 Februari 2008

sang penghibur

“Sang Penghibur” Menggempur Dunia yang Kabur

aku bukanlah seorang yang mengerti..
tentang kelihaian membaca hati,

Kutipan lirik lagu diatas nampaknya hendak menegaskan bahwa filosofi tanaman padi—semakin berisi semakin merunduk yang menjadi inspirasi nama grup bandnya sekaligus dijadikan prinsip hidup kelompok musik Padi—tetap dipegang teguh.
Grup band asal Surabaya yang didirikan 8 April 1997 ini diawaki oleh Satriyo Yudi Wahono alias Piyu (gitar), Andi Fadly Arifuddin (vokal), Ari Tri Sosianto (gitar), Rindra Risyanto Noor (bas), dan Surendro Prasetiyo alias Yoyok (drum). Kini semakin berisi dalam bermusik dan merunduk dalam berlirik yang pada album terbarunya—bertajuk Tak Hanya Diam—begitu kental terasa tema sosial dan nilai-nilai universal, tidak hanya bercerita tentang hubungan cinta pria dan wanita.
Dengan lagunya Sang Penghibur—yang menjadi hits single—Padi seolah ingin memberikan sebentuk interupsi terhadap waktu yakni menggugat kecepatan. Tak sadarkah bahwa kini ritme hidup kita begitu cepat?
Dalam segala aspek kehidupan kita mengidolakan kecepatan; mencuci baju ada mesin pencuci, mendapatkan atau menyampaikan informasi ada internet, menyapu ada penyedot debu, makan ada makanan cepat saji sampai aktivitas-aktivitas yang paling intim (seks) pun kita menginginkan cepat. Bahkan karena saking cepatnya kita tak pernah sadar bahwa sebenarnya kita sedang bergerak dengan cepat dan menginginkannya lebih cepat lagi.
Saat ini, ungkap Carl Honorê penulis buku In Praise Of Slow, seluruh dunia mengalami mengalami time-sickness (mabuk-waktu). Hari ini kita semua tunduk pada kultus kecepatan. Kita selalu dalam keadaan tergesa-gesa.
Pada tahun-tahun awal abad ke 21 ini, segala sesuatu dan semua orang berada dalam tekanan untuk bergerak lebih cepat. Di zaman serba sibuk dan penuh ingar bingar ini segala sesuatu berpacu melawan waktu, tutur Guy Claxton seorang psikolog asal Inggris, akselerasi kini telah menjadi sifat dasar kedua dari manusia. Kita telah mengembangkan suatu psikologi tentang kecepatan, penghematan waktu dan pemaksimalan efisiensi yang semakin menguat dari waktu ke waktu.
Obsesi modern terhadap kecepatan waktu telah melampaui segala hal dan menyebabkan semua orang merasa bahwa penundaan beberapa menit saja dapat menghancurkan seluruh hadapan untuk hidup.
Program diet gagal? Cobalah sedot lemak. Terlalu sibuk memasak? Beli saja microwave. Ketinggalan informasi, dapatkan koneksi dengan internet. Semua orang sibuk dengan koran di tangan, bermain video game, mendengarkan musik dari Mp3, bekerja dengan laptop, mengatur jadwal dengan PDA atau asyik ber-“ha-hai” dengan Hp.
Budaya kita yang berkembang dibawah telunjuk modernisasi dan ketiak peradaban industrialisasi mula-mula memperbaharui cara kerja dengan mesin kemudian mengambil cara kerja mesin sebagai model hidup. Kita tengah diperbudak oleh kecepatan dan semuanya telah mengalah kepada virus busuk—yang sama yakni hidup dengan cepat—dan lamat-lamat merembes hingga wilayah kehidupan pribadi dan memaksa mengonsumsi makanan cepat saji. Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia, begitulah kata peribahasa Italia.

bukankah hidup adalah perhentian…
tak harus kencang terus berlari,

Mengapa kita selalu tergesa-gesa? Mungkinkah atau bolehkah memperlambat ritme kehidupan?
Kecepatan tidak selamanya merupakan kebijakan terbaik, kata Carl Honorê. Hukum evolusi bekerja menurut prinsip survival for the fittest bukan survival for the fastest. Memang benar, kecepatan telah terbukti membantu kita memperbaiki dunia ini hingga mencapai taraf yang mengagumkan dan membebaskan. Kita tidak bisa menyangkal kebebasan yang diberikan oleh internet dan kecepatan yang diberikan pesawat jet.
Namun persoalannya adalah kecintaan kita terhadap kecepatan dan obsesi untuk melakukan segala hal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sudah keterlaluan. Kecintaan dan obsesi itu sudah berubah menjadi candu (addiction) atau malah telah menjadi berhala. Bahkan sekarang kecepatan mulai berbalik memangsa kita ketika kita mulai lupa bagaimana memperlambat gerak. Ketika kita mulai lupa bagaimana menulis dengan pensil karena terlampau sering menulis dengan komputer. Inilah salah satu dampak dari kultus kecepatan yakni dehumanisasi.
Rumah sakit dipenuhi orang-orang yang menderita sakit akibat stress, frustasi, gelisah, gemetaran dan sênewên karena tidak tepat waktu (John Girdner menyebutnya dengan istilah newyorkitis), gangguan pencernaan, sulit tidur, migrain, tekanan darah tinggi, asma dan lainnya. Budaya kerja menjadi budaya “kejar” yang akhirnya merusak kesehatan mental.
Kehidupan yang tergesa-gesa dapat menjadikan dangkal dan banal, Milan Kundera menulis (1996) “ketika segala sesuatu terjadi dengan terlalu cepat, tidak ada lagi orang yang merasakan kepastian tentang apa pun. Tidak ada orang yang merasa pasti lagi, bahkan tentang dirinya sendiri. Segala sesuatu yang menyatu bersama kita dan membuat kehidupan bermakna—komunitas, keluarga, persahabatan—maju menyatu cepat dalam sesuatu yang tidak cukup bagi kita, yakni; waktu”
Depresi, insomnia dan pelbagai kerusakan lainnya akibat time-sickness, tak salah kalau Honorê menyebutnya dengan Abad Kemarahan. Kita menuju jalan yang penuh kemarahan, pasar yang dipenuhi omelan, jalanan yang disesaki caci maki, hubungan yang ditandai perseteruan, persahabatan yang dibumbui kedengkian dan romantika kekerasan lainnya.
Tak ada lagi tutur kata yang ramah dan santun. Kini kata-kata berubah menjadi kata-kata yang kotor penuh umpatan, hujatan, cacian, makian, kasar dan telenges. Dalam kondisi ini tepatlah apa yang digambarkan oleh Padi

setiap perkataan yang menjatuhkan
tak lagi kudengar dengan sungguh
juga tutur kata yang mencela
tak lagi kucerna dalam jiwa

Sudah hilang nilai-nilai budaya hormat ka saluhureun, nyaah ka sahandapeun, someah ka sasama, resep nulung kanu butuh, nalang kanu susah, silih asih, silih asah jeung silih asuh, hirup sauyunan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak. Masyarakat kita menjadi lebih resep maledog kanu gede, nalipak kanu leutik, aing-aingan, resep pasea jeung garelut.
Mabuk-kecepatan ini juga menjadi sebuah gejala dari rasa tidak tentram yang bersifat eksisntensial dan mendalam. Kita kehilangan selera untuk memperlambat ritme kehidupan dan hanya membiarkan diri dengan pikiran kita sendiri. Ketika tak ada yang dikerjakan (baca; nganggur atau nyantai) kita pun panik, bosan, gelisah dan akan berusaha mencari sesuatu, apa saja bisa memanfaatkan waktu.
Kebosanan merupakan temuan abad modern, kata Honorê. Masa hidup kita ini terobsesi oleh hasrat untuk melupakan dan untuk itulah kita dipaksa untuk “beriman” kepada setan kecepatan bahwa manusia ini sudah lelah dan muak terhadap dirinya sendiri.
Kenapa hal ini bisa terjadi?

bukankah ku pernah melihat bintang
senyum menghiasi sang malam
yang berkilau bagai permata
menghibur yang lelah jiwanya
yang sedih hatinya

Pada titik ini virus time-sickness telah menjalar pada pribadi yang menyebabkan penyakit eksistensial; kehampaan hidup, ketidakberartian. Orang-orang barat kemudian sibuk mempelajari yoga, kearifan-kearifan timur dan mengikuti kumpulan-kumpulan spritualis semacamnya.

kugerakkan langkah kaki dimana cinta akan bertumbuh
kulayangkan jauh mata memandang tuk melanjutkan mimpi yang terputus
masih kucoba mengejar rinduku
meski peluh membasahi tanah
lelah penat tak menghalangiku menemukan bahagia

Sebaliknya masyarakat kita malah sedang gandrung dengan antek-antek kerajaan setan kecepatan ini, kita mengagungkan efisiensi, efektivitas, gila kerja dan semacamnya—karena yakin bahwa kecepatan dan ketepatan adalah kebajikan moral yang membawa kesuksesan—untuk memburu kesenangan.
Seharusnya kita bisa berhenti sejenak dari segala perlombaan kesenangan ini, hanya sekedar untuk merefleksi; mengapa kita harus bekerja mati-matian?.

kuhelakan nafas panjang
tuk siap berlari kembali
melangkahkan kaki

Time-sickness yang membuat dunia (barat) menjadi kabur (melarikan diri) sesungguhnya tidak-lah keliru. Hanya saja dengan “rukun iman” waktu adalah uang akhirnya membentuk falsafah kebudayaan yang cenderung materialistik dan pragmatis. Dalam falsafah kebudayaan ini, materi dijadikan sebagai tujuan kebajikan puncak sedang dunia spiritual hanya dijadikan sebagai kedok untuk mengeruk keuntungan secara materi (dan kita di sini sedang menirunya).
Sesungguhnya serangan balasan terhadap ritme kecepatan bukan berarti anti-kecepatan melainkan melakukan hal dengan tenang, hati-hati, reseptif, tidak tergesa-gesa, reflektif, sabar dan kualitas diatas kuantitas. Melakukan dengan lambat berarti melakukan hubungan yang nyata dan berarti, dengan orang lain, dengan budaya, dengan pekerjaan, makanan dan segala sesuatu.
Dengan memaknai bahwa hidup adalah perhentian, kita memiliki surat izin untuk santai, untuk berpikir, untuk merefleksikan persoalan-persoalan eksistensial yang besar. Karena bergerak dengan cepat berarti bereaksi bukan berefleksi. Bisakah pertanyaan-pertanyaan—kenapa kita hidup? buat apa hidup ini? hendak kemanakah kita menuju dengan segala pencapaian peradaban ini—yang bersifat eksitensial dijawab dengan cepat. Maka sebenarnya melakukan segalanya dengan reflektif berarti berjalan

…menuju cahaya.

Hidup yang tidak ditanyakan tidak pantas untuk dijalankan, ungkap Socrates. Socrates hidup beberapa abad sebelum masehi, dia hidup jauh sebelum ditemukannya komputer sedangkan grup band Padi hidup di tengah hiruk pikuknya perkembangan teknologi. Grup band Padi memang bukan sekumpulan filsof—seperti halnya Socrates—tetapi mereka mencoba untuk berfilsafat lewat lagu-lagunya.
Sungguh ada benarnya perkataan Goethe bahwa apa yang terlihat konyol untuk diceritakan bisa dikatakan lewat lagu (dinyanyikan). Tabik Sang Penghibur!

Penulis adalah penggemar musik dan lirik,
anggota Madzhab Santai.

ini malam

Ini Malam Punya Siapa

ini malam punya siapa
asmara merindu pada satu ketika
malam dingin menyuguhkan angin

beserta raksukan sepi dan nyeri
asmara merindu saat bilamana
tubuh gontai lunglai tak bertepi

….

putus.

110606