Jumat, 09 November 2007

apresiasi

APRESIASI SENI; Dalam Rangka Hari Film Nasional

-pengantar diskusi-

Oleh; te. Ditaufiqrahman[1]

Carlos Saura

(ibu kesenian adalah imajinasi dan rasionalitas).

-Francisco De Goya-

Prolog

Tanggal 30 Maret, tepat di peringati hari perfilman nasional. Pada tahun 1950 Usmar Ismail membuat film The Long March (Darah Dan Do’a) yang kemudian hari pertama pengambilan gambarnya diusulkan menjadi hari film nasional, hal ini bukan tanpa alasan meskipun saya sendiri belum pernah menonton filmnya, tetapi yang jelas Darah Dan Do’a ini seratus persen Indonesia dari mulai pendanaan sampai ide yang genuine sangat Indonesia.

Selanjutnya, bagaimana nasib perfilman Indonesia sekarang? Begitulah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para sineas perfilman, yang kemudian dijawab dengan semangat film Indonesia mesti bangkit!

Apanya yang mesti bangkit? Itu mungkin pertanyaan bagi saya yang bukan insan perfilman. Sebenarnya saya juga termasuk insan perfilman tapi mungkin golongan yang “nggak serius”, maksudnya saya hanya menempati posisi sebagai penonton dalam kancah perfilman nasional bukan praktisi apalagi pencipta.

“Berkembangnya televisi swasta” JB Kristanto menegaskan dalam tulisannya Film Indonesia Dan Akal Sehat “bersamaan dengan surutnya produksi film Indonesia. Hijrahnya orang-orang film ke televisi” lanjutnya “ tidak hanya hijrah secara fisik, tapi juga secara pikiran. Yang terakhir ini dengan mudah bisa dilihat dari genre film khas yang ikut pindah ke televis; rumah tangga, remaja dan mistik”

Penting kiranya saya memposisikan terlebih dahulu film sebagai sebentuk karya seni modern. Hal ini sangat logis ketika sebuah pertunjukan teater dianggap sebagai sebuah puncak kulminasi kreativitas seni akan tetapi hal ini bukan berarti saya berpretensi untuk melebihkan salah satu aktivitas seni ketimbang yang lainnya, pertimbangan ini saya ajukan lebih dikarenakan pertunjukan teater dimungkinkan memuat berbagai macam karya seni mulai dari naskah, tarian, lukisan, nyanyian dan lain sebagainya.

Maka menganggap film sebagai bentuk teater modern adalah niscaya. Film lahir dan hadir di sebuah keluarga seni bak sebagai seorang anak. Namun bagaimana keadaan sang anak setelah dewasa, apakah sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh keluarga atau tidak itulah yang jadi persoalan Rosihan Anwar.

“ … kecuali sebagian kecil, film-film ini sama sekali tidak memperlihatkan keterlibatan social. Beberapa film mencoba berbicara tentang masalah social, tapi lantaran kurangnya persiapan dan pengenalan lingkungan maka masalah social yang ditampilkan terasa sangat dibuat-buat dan semu. Yang ingin kita lihat dalam film kita adalah gambaran dari manusia dan kehidupan Indonesia yang ada. Keinginan untuk menggambarkan ini ada pada beberapa film yang turut festival, tapi karena penggambaran tokoh maupun lingkungannya tidak utuh, maka gambaran itu tidak menjadi meyakinkan.

Penulis skenario, sutradara, dan editor belum menguasai wawasan dramaturgi yang memadai. Film-film peserta kali ini dipenuhi kejadian-kejadian kebetulan tidak bermotif… juga fotografi film kita masih ada pada tingkat menciptakan gambar-gambar yang baik. Fotografi dalam film kita belum memenuhi tuntutan dramaturgi. Demikian juga dalam ilustrasi musik dan pengarahan artistik” (kompas, 3 maret 1977 seperti yang dikutip dalam tulisan Jb Kristanto)

Dengan menggunakan standar dan penilaian yang disebutkan Rosihan Anwar di atas; Lantas bagaimana dengan sinetron yang mendominasi siaran televisi kita. Arswendo mengatakan “… kemudahan dianggap penyelesai masalah, sehingga proses tak penting benar. Kemudahan sudah terbiasa dalam sinetron; tokoh-tokohnya harus cantik dan tampan, sekali menelepon mendapat sambungan, selalu tersedia tempat setiap mau parkir, hidup berkecukupan tanpa jelas apa pekerjaannya; tapi bisa jahat tanpa alasan; nenek bisa membunuh cucu, mertua meracuni menantu, si cantik berpasangan suami tolol lahir batin dan atau kalau perlu berubah menjadi hantu”

Film, Televisi Dan Keterlibatan Sosial

Mungkin itu yang mesti dibangkitkan dalam perfilman Indonesia. Film mesti ada keterlibatan dalam wacana sosialitas sehari-hari dan hal ini diniscayakan oleh kehidupan dan sejarah idealisme sebuah karya seni. Begitu juga, televisi sebagai media yang mutakhir, mesti melibatkan diskursus realitas social yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Anggaplah televisi semisal Colloseum di Roma yang pada zaman dahulu berfungsi sebagai ruang public dan media untuk menyampaikan pesan-pesan dan gagasan-gagasan, pertunjukan teater sering dipertontonkan di dalamnya. Jadi ada perkenalan dan pertempuran nilai-nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma yang meliputi pandangan hidup seseorang, dalam hal ini pencipta naskah yang ditampilkan.

Saya menyandarkan tesis itu pada sebuah asumsi dasar bahwa film adalah sebuah karya seni dan karya seni adalah sejenis aktualitas kerja mental manusia yang paling jernih. Francisco De Goya, pelukis besar Spanyol mengatakan Carlos Saura; ibu kesenian adalah imajinasi dan rasionalitas[2].

Kalau saya mau mengkonfirmasikan ucapan De Goya dengan realitas pertelevisian sekarang, sangat ironic dan miris sekali, ketika sajian televisi lebih banyak mempertontonkan, seperti yang disebutkan oleh Arswendo diatas, kemudahan-kemudahan; mau parkir tersedia tempat, mau makan tinggal makan, hidup enak padahal nggak jelas pekerjaan. Penggambaran seperti ini tentunya sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang kita dapati sehari-hari. Sangat paradoks!

Kalaulah kita sepakat menerjemahkan film sebentuk realitas-virtual sebagai pantulan dari eksistensi masyarakat yang meliputi gaya hidup, pola pikir dan segala tetek bengek etos kehidupan lainnya, maka secara tidak langsung seni yang telah bermetamorfosa dalam wajah modernitas telah mempecundangi kenyataan. Para seniman kini tidak menciptakan karya atas dasar kejernihan batin dan pikirannya. Seni telah menjadi “air seni” yang berbau pesing.

Maka pada akhirnya, saya sering dibingungkan dengan sajian televisi; entah itu film, sinetron, kuis atau apapun acaranya, apakah yang digambarkan dalam televisi itu adalah realitas yang benar-benar terjadi dalam masyarakat? Harapan yang diinginkan oleh masyarakat dalam kehidupannya atau bahkan rasa frustasi masyarakat?

Mungkin saya perlu juga menginformasikan apa sebenarnya yang diinginkan bangkit dalam perfilman Indonesia, ada yang memahami secara substansial ada yang hanya sebatas formal. Pertama formalitas terkait dengan kuantitas maka yang dituntut dari kebangkitan perfilman adalah sering berkarya-nya para sineas film tak peduli bagaimana bobot film yang dikeluarkannya itu yang jelas ada produksi film

Misalnya, anggapan ini disinyalir dari, data-data sinematek Indonesia yang masih rajin mencatat produksi film Indonesia, menunjukan bahwa keruntuhan itu didasarkan pada besar kecilnya produksi. Sinematek mencatat kemunduran terjadi mulai tahun 1998 sementara tahun-tahun berikutnya 1999; tiga judul, 2000; tiga judul, 2001; empat judul dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Loetoeng Kasaroeng (1926), Siloeman Babi Perang Siloeman Monyet (1935), Darah Dan Doa (1950), Apa Jang Kau Tjari Palupi (1969), Kabut Sutra Ungu (1979), Wadjah Seorang Laki-Laki (1971) Cinta Pertama, Bulan Diatas Kuburan (1973), Perkawinan Dalam Semusim (1976), Mama (1972), Sesuatu Yang Indah (1976), Kembang-Kembang Plastik (1977), Pengemis Dan Tukang Becak (1978), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), Naga Bonar (1986)[3]

Kedua, pesoalan kualitas film yang dikeluarkan pun tak urung mendapat perhatian keras dari para pengamat film. Saya akan membagi hal ini kepada dua bagian, pertama incontent, terkait dengan elemen dasar dalam pembuatan film itu sendiri bagaimana tata artistiknya, musik, pengaturan peran, sinematography, editing gambar, penyutradaraan dan lainnya, kedua othercontent, hal inilah yang, meminjam istilah Rosihan, mencakup keberadaan film dan keterlibatan dengan lingkungan socialnya sehingga kita tidak akan mendapati film yang a social. Persoalan incontent inilah yang dalam teater diatur dalam dramaturgi.

Incontent dimaksudkan sebagai “logika dalam dirinya[4]”. Maksudnya adalah bahwa setiap karya seni memiliki logika sendiri yang sangat mungkin berbeda dengan realitas kehidupan biasa, bahkan juga dengan karya seni yang lain, meski dari jenis yang sama. “Logika dalam” inilah yang menyebabkan adegan berlari di atap-atap rumah atau perkelahian di pucuk bambu dalam film Crouching Tiger Hidden Dragon.

Tentang malaikat yang bisa malang melintang melintasi kota berlin tanpa kelihatan, dalam film Wing Of Desire, mendengar pikiran manusia dan ingin jadi manusia. Dua film yang sama-sama bersifat puitis ini menjadi sangat menarik saat diikuti dan juga sama-sama meyakinkan meski mungkin “tidak logis” bila dikaitkan dengan realitas sehari-hari.

Logika dalam ini atau incontent datang pada saat sang pencipta mengawali penciptaannya dalam bentuk apapun, ia bisa berimajinasi berupa karakter satu tokohnya, bisa juga plot sebuah cerita, sebuah masalah tertentu, sebuah citra tertentu atau sebuah gambar tertentu. Hal ini memang bukan hal baru bahkan mungkin sangat kuno. Dan posisinya sangat mendasar dalam penciptaan karya baik yang bersifat seni maupun yang serius maupun sekedar hiburan yang diniatkan untuk mencari uang semata.

Pada tataran operasionalisasinya incontent dan othercontent saling berkaitan, begitu sudah menetapkan awalan tadi, maka pencipta tidak lagi bebas. Ia harus mematui konsekuensi logis dari yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ia tidak lagi bisa semena-mena memperlakukan tokoh ciptaannya atau jalan cerita yang sudah disusun awalannya. Ini merupakan hukum umum dasar penciptaan karya seni dari jenis apapun. Hal ini pulalah yang menyebabkan perlunya ada penelitian khusus dan mendalam mengenai apa yang diperlukan sampai ke soal-soal yang sangat sepele sekali seperti jenis tata rambut, pakaian, tingkah laku dan lain-lain. Ketika sudah menetapkan elemen incontent maka mau tidak akan berimplikasi pada penentuan bentuk othercontent-nya.

Berikut saya petikkan contoh pemugaran incontent dan othercontent oleh Jb Kristanto “… maka Beth banyak bicara soal besar, sekaligus bisa juga dikatakan tidak berbicara apa-apa, karena hal-hal besar tadi tidak diuraikan dengan cukup memadai. Hal yang paling besar yang ingin inyatakan kira-kira adalah bahwa masyarakat kita sakit, sama dan sebangun dengan dunia rumah sakit jiwa yang dijadikan tempat peristiwa berlangsung. Karena tokoh-tokohnya adalah orang dengan kelainan jiwa, maka penulis scenario maupun sutradaranya (Nana G Mulyana dan Aria Kusumadewa) mera bisa berbuat dan menyatakan apa saja, tanpa pemahaman cukup tentang jenis-jenis penyakit jiwa yang sangat beragam dan dengan dirinya akibat pada tingkahnya juga sangat beragam”

“Lantas dengan demikian” lanjut Kristanto “ lewat tokoh-tokoh sakit jiwa ini, penciptanya seolah-olah bebas melontarkan apa saja yang ingin dilontarkan, tanpa harus berkutat cukup keras apakah itu sesuai dengan ‘kenyataan’ rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang jadi dunia rekaan yang diciptakannya”

Maka idealnya, seorang seniman dalam mencipta karya mesti berlandaskan pada fakta-fakta social yang terjadi di masyarakat. Sehingga proses penciptaan tidak lebih menekankan pada sisi imajinasi. Padahal, imajinasi seliar apapun akhirnya harus tunduk pada hukum penciptaan yang lain yaitu logika.

Dengan demikian ada tuntutan moral yang seharusnya diemban oleh seorang seniman dalam mencipta sebuah karya. Sehingga karya yang diciptakannya tidak a sosial dan a historis. Terlepas pada adanya aliran dalam setiap proses kesenian; idealis, realis, ekspresionis dan lain sebagainya yang jelas sebuah ide tidak muncul dari ruang hampa semisal kehidupan tak berasal dari tiada, creation ex nihilo.

Film Dan Televisi; Sudut Pandang Tonton-Penonton

Tentunya sangat berbeda sekali bagaimana seorang praktisi film dan televisi dengan penonton memandang sebuah tontonan; film, sinetron, reality show, teater jenis tontonan lainnya. Pada kesempatan, kali ini saya akan mengemukakan beberapa anggapan dasar tentang tonton-menonton dalam catatan Putu Wijaya.

“Apa sebetulnya tontonan itu?” begitu aju putu “setiap hari hari kita melihat banyak hal yang sama kalau ada yang terlihat aneh dan lain, baik karena lucu, sedih, menyentuh perasaan, membangkitkan semangat, membuat jengkel dan lain sebagainya, termasuk yang memberikan tikaman keindahan. Kita menyimpannya sebagai kenangan

Tontonan sebagai kesenian dengan demikian berfungsi memilihkan begitu banyak unsur tontonan dalam kehidupan nyata, menjadi satu paket ia juga befungsi untuk mengahadapkan secara bersama-sama mengalami satu peristiwa yang sama.

Totonan sebagai kesenian dengan demikian tidak benar-benar murni kejadian. Didalamnya ada ide. Ada unsure pemaketan. Ada pengarahan, ada sentuhan-sentuhan manusia sehingga tontonan tersebut benar-benar memiliki kencenderungan konteks, karena ia memang merupakan alat komunikasi antara seorang creator dengan penonton. Ia mempunyai fungsi social selain disiplin artistic.

Penonton di samping, berbeda kepala dan perasaan, berbeda pula kepentingannya. Makin beragam jenis tontonan yang muncul, makin banyak nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Dan makin banyak seorang penonton dapat menerima arus tersebut, makin terbukalah cara berpikirnya. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa seni tontonan yang sedang berkembang adalah potret batin masyarakatnya. Barangkali boleh dikatakan, menilai keadaan suatu masyarakat cukup dengan meneliti seni tontonannya.

Seni tontonan pada akhirnya juga mewakili juga hasrat masyrakat, impian dan kenyataan yang sedang berjalan, atau masa lalu yang tetap hidup. Dalam kehidupan, seni tontonan merupakan jendela yang berfungsi majemuk. Baik sebagai tempat untuk menghibur diri, menambah pengetahuan, maupun untuk keseimbangan rohani. Seni tontonan merupakan peragaan dari fungsi-fungsi tersebut.

Tetapi yang paling menarik, seni tontonan, selalu hadir sebagai hiburan. Fungsinya yang begitu banyak dan penting tidak menakutkan masyarakat, sehingga tontonan tetap hadir akrab dan mesra dengan masyarakat. Tapi bagi mereka yang suka bertanya-tanya, suka menyelidik dan mengorek-ngorek, pasti segera dapat memahami bahwa di balik baju tontonan yang sederhana dan akrab itu ada perenungan nilai-nilai kehidupan yang terus bergrak. Sebagai akibatnya, tontonan selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya, sekaligus tak pernah kehilangan bobot dan nilai artistiknya.

Di dalam konsep tontonan, tidak semua penontn benar-benar menonton. Mungkin mata mereka terbuka, tapi pikiran mereka tidak dapat mencerna. Ada yang terlibat secara rohani. Ada yang melihat, mendengar akan tetapi sementara itu saluran aktivitas rohaninya tetap berjalan sendiri sehingga selama pementasan berlangsung, ia juga melakukan pementasan sendiri di dalam dirinya. Ada juga yang sama sekali tidur di dalam pertunjukkan akan tetapi ketika usai ia dapat mengatakan apakah baik atau buruk.

Ada juga yang hanya menonton satu kalimat yang terpenting di dalam keseluruhan dialog yang dimuntrahkan atau satu adegan kecil dari rentetan adegan yang berjam-jam lamanya. Juga ada yang terus berbicara selama pertunjukan berlangsung akan tetapi mengerti apa yang sedang terjadi. Ada yang hanya menonton satu menit lalu pergi karena sudah merasa tahu.

Sebagian lagi dari rumah sudah memastikan akan menonton apa lalu menonton menjadi usaha untuk mencari apa yang sudah diduganya. Ada lagi yang ingin menonton sesuatu yang sangat disukainya dan langsung bereaksi berang manakala tidak menemukan itu. Dan akhirnya ada juga yang menonton dengan tekun dari a sampai z tetapi tidak pernah benar-benar hadir secara utuh dalam peristiwa itu.

Belum lagi diornamentasi-I dengan perbedaan status social, ekonomi, agama, intelektual, pandangan politik, prinsip moral, opini dan kepekaan dalam menerima. Belum lagi ditambah dengan perlengkapan emosional. Sebab sebuah tontonan adalah sebuah pesona yang mengandung rencana. Ia memiliki latar belakang, tema, isi, arah dan kecenderungan, sasaran, cita-cita, bentuk, komposisi, dialog, proses dan persiapan-persiapan. Meskipun tontonan seringkali tampi sewajarnya seolah tanpa perencanaan.

Namun kalau dibongkar akan muncul kode-kode rahasia yang menunjukkan bahwa ia benar-benar telah diproses dengan teliti. Tontonan adlah sebuah kreasi manusi yang tercipat dengan kesadaran atau bawah sadar creator. Sebuah tontonan memiliki bingai, sudut pandang, interpretasi dan sentuhan yang akan memformatnya menjadi sesuatu yang layak ditonton.

Sebuah tontonan tidak pertah tanpa rencana. Tidak pernah tanpa tujuan termasuk kalau tujuannya tanpa sebuah tujuan dan rencana. Ia tidak dating dan terjadi begitu saja. Ada konsep, ada proses, ada pengendapan, ada perenungan, pemikiran. Tontonan adalah pangkalan untuk melancarkan kritik dan protes. Untuk mengajak penonton memikirkan kembali nilai-nilai yang sudah disepakati atau diyakini. Untuk meyakini atau meraguakan manusia awas melangkah dalam kehidupan selanjutnya.

Tontonan adalah sebuah alat ekspresi. Untuk melontarkan buah pikiran, gagasan, renungan, perasaan-perasaan manusia perorangan atau kelompok manusia.

Pakem Dalam Menonton

Berbicara masalah pakem menonton tentunya tidak bisa tidak akan membicarakan masalah pandangan pribadi. Karena terkait dengan menonton tentunya pula mengunakan nalar, persepsi, paradigma dan panadngan dunia yang sangat terkesan subjetif.

Dua orang menonton satu film tidak akan menjamin akan memiliki pemahaman yang sama akan film itu pasti berbeda. Karena itulah kekhasan dan keunikan manusia. Tak pernah sama dan tak akan selalu beda. Kendati semuanya menjadi kumpulan subjektifitas akan tetapi ada pakem yang membuat segalanya bisa objektif.

Salah satu pakem objektivitas itu adalah; fakta. Dalam hal ini, biarkan film itu berbicara apa adanya tanpa disertai pra asumsi yang liar disertai harapan, keinginan atau yang lainnya, hal ini diniscayakan perlu setidaknya untuk mengurangi subjektivitas pendapat. Secara teoritis hal ini terkesan sangat fenomenologis.

Selanjutnya dalam rangka menonton film perlu digunakan sudut pandang mana yang hendak dipakai untuk memahami sebuah film karena sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.

Misalnya apakah kita akan membicarakan film dalam “logikanya sendiri” bagaimana penata artistiknya, bagaimana plot yang dibangun dalam keseluruhan film itu? Apakah sudah mendukung pesan dari film itu sendiri atau belum? Editingnya, apakah tidak terlalu banyak shot yang basi dan mubadzir, pencahayaan dalam gambarnya dan hal lainnya lagi yang terkait dengan sinematografhy .

Atau malah kita akan memperbincangkan film itu dalam othercontent; apa pesan yang hendak disampaikan? Bagaimana cara film itu menyampaikan pesannya itu? Kenapa film menyampaikan pesan itu apa yang melandasi munculnya film itu?

Akhirnya, membicarakan sebuah film tak lain dan tak bukan semisal membicarakan sebuah kehidupan yang sama runyamnya untuk bisa mengerti satu orang saja. Sebab dalam film dimunculkan kejadian dan tak ada satu orang yang akan mempersepsi sama terhadap satu kejadian.

Selamat mempersepsi tanpa sabuk pengaman!.

Wallahu ‘alam bishowab.

Bandung 31 maret 2007



[1] Penulis adalah Koordinator Jarik (Jaringan Islam Kampus) Bandung, Jaringan Intelektual Muda (JIM) MABIM sekarang menjabat sebagai ketua umum LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman),

[2] Bentara, Jb Kristanto “Film Indonesia Dan Akal Sehat” (Jakarta, Penerbit Buku Kompas; 2002) hal 226

[3] Ibid … hal 215

[4] Saya mendasari penjelasan ini pada tulisan Jb Kristanto, Film Indonesia Dan Akal Sehat

Tidak ada komentar: