Jumat, 09 November 2007

Aku ingin berbicara mengenai kekecewaan. Semua dari kita pasti pernah mendapatkan kekecewaan dari apapun, dari siapapun, kapanpun dan dimanapun juga. Hemat saya, terlalu sombong dan songong bagi orang yang tidak gegas mengakui bahwa dirinya kecewa dengan alasan pemahaman yang bijak (atau mungkin? sengaja dibijakkan!).

Sebijak-bijak apapun orang pasti mendapatkan kekecewaan atau ia sendiri mengecewakan orang lain. Saya ingin membicarakan dulu apa itu kekecewaan? Sifat kekecewaan memang sangat relatife karena ia selalu terkait dengan subjektivitas (entah itu dalam pemikiran maupun perasaan) seseorang, dengan ini bisa dikatakan bahwa kekecewaan bukan barang yang "objektiv". Kekecewaan adalah masalah pribadi.

Oleh karena itu kita akan mendapatkan ada orang yang merasa kecewa tetapi orang lain tidak padahal penyebab orang kecewa dengan penyebab orang yang tidak kecewa sama. Misalnya, kesebelasan persib kalah dalam pertandingan melawan persikota. Bagi saya hal itu biasa saja, tetapi mungkin bagi pelatih persib kekalahan itu adalah suatu musibah besar. Kenapa hal itu bisa terjadi? Untuk membahas lebih jauh saya ingin mengemukakan dulu arti kekecewaan secara bahasa.

Kecewa, menurut Kamus Besar Indonesia Badudu-Zain, berarti tak puas/tak senang karena sesuatu yang diharapkan tidak tercapai; kekecewaan adalah perasaan kecewa. Kembali kepada contoh yang saya ungkapkan diawal, mengenai pertandingan persib. Kenapa pelatih Persib kecewa melihat persib kalah. Pelatih merasa tak puas, tidak senang karena sesuatu yang di harapkan itu tidak tercapai, apa yang diharapkan pelatih? Kemenangan.

Karena sesuatu yang diharapkan, yaitu kemenangan, tidak tercapai maka ia kecewa. Lalu kenapa saya tidak kecewa? Karena saya tidak mengharapkan persib kalah dan juga tidak mengharapkan persib menang, singkatnya saya tidak berharap apa-apa ketika persib bertanding. Kenapa saya tidak mengharapkan apa-apa, sebab memang, persib menang atau tidak, nggak ada urusannya dengan saya, nggak ada hubungannya, nggak ada sangkut pautnya dengan kehidupan saya. Intinya nggak bakalan merubah jalan hidup saya. Sekali lagi, yang kecewa pada saat pertandingan persib, mungkin tidak hanya pelatih, tetapi pemain, bobotoh, kru, managemen dan banyak lagi lainnya.

Saya ingin memberi catatan kondisi apa saja orang bisa kecewa; a) ketika seseorang berharap, b) ketika ada kaitan dengan dirinya (relasi itu bisa sifatnya ekonomis, biologis, politis, histories atau kaitan lainnya lagi). Maka ketika kondisi seseorang telah "mengidap" dua prasyarat itu, siaplah dia akan merasa kecewa.

Prasyarat utama supaya orang merasa kecewa adalah harapan, sekalipun sesuatu itu ada kaitan, ada hubungan dengan dirinya namun dia tidak berharap pada sesuatu itu maka dimungkinkan dia tidak kecewa. Misalnya saya, terhadap pertandingan persib itu, kenapa saya tidak kecewa? Sebab saya tidak mengharapkan apa-apa dari pertandingan itu sekalipun secara rasio saya memiliki relasi dengan persib; dengan saya tinggal di bandung saya telah memiliki relasi dengan persib. Tetapi nyatanya saya tidak kecewa, sebab relasi yang saya bangun bukan relasi akrab yang dekat melainkan relasi yang telah terkondisikan.

Dian [sudah] Padam…?!?!

Katakanlah untuk membangun peradaban ada tiga jalan; keberpihakan kepada kemanusiaan, rasionalitas dan spiritualitas. Kemanusiaan akan diwujudkan lewat aksi, sikap serta tindakan yang berpihak kepada kemanusiaan, rasionalitas mesti terwujud lewat keilmuan dan tradisi intelegensia semisal; diskusi, menulis dan membaca, spiritualitas menjadi penting untuk menjadi pakem bagi rasionalitas yang terlampau melambung.

Untuk mewujudkan ketiga cita-cita tadi salah satunya dengan cara membuat ruang publik, public atmosphere. Dimana aspirasi kemanusiaan, rasionalitas dan spiritualitas dapat tersampaikan.

Ruang publik ini bisa berbentuk media massa seperti bulletin, jurnal, majalah, koran; media elektronik televisi, radio, ataupun hanya sebatas forum diskusi. Maka dari itu JEJAK adalah salah satu ruang publik yang sengaja dibuat oleh Hima-Himi Komisariat UIN SGD Bandung. Untuk memfasilitasi segala erang dan jeritan kemanusiaan, berbentuk tulisan yang penuh dengan argumentasi.

Tak ayal lagi dalam setiap penerbitannya, JEJAK selalu berpihak kepada kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh. Dengan jargon Menapak, Menerobos, Mengukir Sejarah dimaksudkan sebagai pelecut kepada setiap umat manusia, intelegensia khususnya, untuk mengukir sejarah dengan cara menapak dan menerobos segala aral rintang yang menghadang. Iqbal mengatakan jangan hidup menjadi beban sejarah saja. Secara singkat dan sarkas dapat disebutkan mending jangan hidup kalau mau jadi beban sejarah saja mah. Senada dengan Iqbal, Akhdiat mengatakan orang yang tidak merasa menjadi khalifatullah maka mendingan minggir …!

Begitulah, cita-cita peradaban akan tersampaikan manakala manusia mengerti dan paham akan keberADAanya di bumi ini. Kalau nggak nyadar … jangan harap! Mendasarkan kepada kesadaran ini pula lah JEJAK menapakan diri untuk mengukir sejarah.

Salah satu aspek yang sangat urgen dalam perdaban adalah rasionalitas. Terkait dengan hal ini, kita akan mendapatkan bukti historisnya. Ketika lembaran zaman modern dibuka dengan jargon aku berpikir maka aku ada. Maka berpikir, adalah kepanjangan tangan dari rasionalitas. Rasio adalah cahaya bagi zaman modern. Rasio adalah dian, dan dian adalah lentera yang akan membawa menerangi di saat kegelapan.

Selamat membaca, mari kita bangun peradaban …!

BE YOUR SELF…! NO MATTER WHAT THEY SAID.

-Kenalilah Dirimu Sendiri…!-

Aku ingin berbicara mengenai diriku sendiri. Karena kadang-kadang kita yang suka berbicara mengenai orang lain lupa akan dirinya. Aku juga tidak akan menggurui bagaimana caranya kita menjalani hidup karena, aku juga belum berpengalaman. Aku tidak akan membicarakan orang-orang yang sukanya curiga kepada temannya. Aku tidak akan membahas mengenai filsafat kehidupan. Aku hanya ingin merenungi diri sendiri. Aku yang tidak suka dikritik oleh orang lain sebab aku merasa benar dan selalu benar sementara orang lain adalah salah dan selalu salah. Aku ingin menang dan selalu menang sementara orang lain selalu kalah dan harus kalah. Sekali lagi aku ingin berbicara mengenai diriku sendiri. Kalau Coelho mengatakan bahwa kisah satu manusia adalah kisah seluruh manusia, maka mungkin kisahku adalah kisahmu juga.

Filsuf Yunani mengatakan kenalilah dirimu sendiri. Memangnya seberapa penting sih kita mengenali diri kita. Kalau dalam ajaran Islam ada sebuah hadits atau tepatnya pepatah yang sering digunakan oleh para sufi stigma itu adalah من عرف نفسه فقد عرف ربه. Barang siapa yang telah mengenali diri maka ia [berkesempatan lebih banyak untuk] mengenali Tuhan. Kalau kita kaitkan kepada kepentingan transenden memang begitu adanya. Salah satu jalan untuk mengenali Tuhan, kita kenali dulu diri kita sendiri.

Maka ketika aku mulai mengenali diriku sendiri. Aku sempat bingung karena mendapati labirin-labirin gelap kosong dan kerap kali membuat kita tersesat. Aku tak menemukan apa-apa. Apa yang harus aku gali dalam diriku ini. Tak ada apa-apa. Kalaupun yang dimaksudkan dengan mengenali diri adalah identitas maka kenapa harus repot tinggal merujuk aja ke akta kelahiran. Saya lahir di anu, bulan anu tanggal anu, anak anubla-bla-bla … dan selesai sudah. Apakah hanya itu. Dan ternyata bukan itu yang dimaksud.

Kemudian aku beranjak ke pertanyaan yang lebih mendasar bukan lagi merujuk ke akta kelahiran dan KTP. Aku mulai menanyakan kenapa aku lahir, kenapa aku ada di bumi ini. Maka aku mendapatkan kesan bahwa aku memang mesti ada di bumi ini, aku mesti lahir. Dan kadang kala ketika sudah buntu, aku mulai mencari kambing hitam … Tanyain atuh sama Tuhan kenapa melahirkanku. Aku juga nggak ingin lahir. Emangnya Tuhan … yang melahirkan. Aku nggak ambil pusing kenapa aku lahir… ah pokonamah aku lahir tanpa embel-embel pertanyaan. Dedlock!aku tak bisa menjawab kenapa aku lahir.

Tapi, ketika aku hentikan pertanyaan itu eh malah menjadi-jadi menusuk jantung limpaku. Maka mau tak mau aku mencari lagi alasan aku lahir. Masa aku harus menjawab, kenapa aku lahir, karena ibu dan bapak kita melakukan hubungan intim terus setelah itu lahirlah anak dan anak itu aku. Betapa tidak berartinya aku hidup ini. Hanya berasal dari nafsu manusia, maka tak salah kalau orang-orang sekarang ini memaksakan nafsunya karena arti kelahirannya hanya berawal dari nafsu dan beraksir dengan nafsu. Ah … Tuhan, Tuhan kenapa kau ciptakan aku? Apakah tak ada petunjuk untuk menjawab alasan keberADAanku di bumi ini?

Eureka…! Aku mulai mendapatkan jawabannya. Kenapa aku lahir? Karena Tuhan PERCAYA sama kita. Logikanya kaya gini, dalam al qur'an disebutkan bahwa tuhan akan menciptakan manusia dan menjadikannya khalifah di muka bumi ini. Khalifah itu artinya yang mengurus bumi ini, yang mengolah bumi ini. Nah, dalam al qur'an ternyata aku adalah khalifah. Dalam hadits dikatakan bahwa setiap dari kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Setelah itu, kita ternyata adalah khalifah yang diPERCAYA tuhan untuk mengurus bumi ini. Kita dipercaya untuk memimpin makhluk-makhluk lain. KITA ADA KARENA KITA DIPERCAYA.

Ditambah, dari sekian sperma yang berhasil lolos adalah kita. Kita adalah JUARA. Tetapi kenapa aku bukan yang lain? Karena kita dianugerahi akal, terus hawa nafsu. Malaikat 'kan nggak? Hewan nggak? Hanya kita! dalam al qur'an disebutkan bahwa kita ini adalah sesempurna bentuk. Bentuk kita ini adalah sempurna, tetapi aku juga yang menyadari, kita ini dalam bentuk yang sempurna tetap minder, kenapa ya?

Pertanyaan kita sudah terjawab. Kenapa kita ada karena kita dipercaya. Tinggal bagaimana kita bisa memegang kepercayaan itu. Kita seyogyanya merasa tersanjung karena mendapat kepercayaan dari tuhan. Sederhananya, bagaimana rasanya kalau kita mem(p)ercayai orang dan ternyata orang itu berkhianat. Sakit bukan? Pengen nonjok! Sekarang bayangkan tonjokkan tuhan itu kayak gimana. Kalau aku, jadi kepikiran bahwa musibah, bencana alam, krisis moneter, dan berbagai kemelut yang dialami oleh bangsa kita adalah TONJOKAN dari tuhan, sebenernya bukan tonjokkan tapi tapi hanya goderan. Tonjokkan itu nanti kiamat.

Pengenalan diri ini adalah sebuah urgensi yang mesti ada dalam setiap kurun hidup manusia untuk mencapai peradaban yang lebih beradab. Dalam kajian psikologis pengenalan dir ini dinamakan dengan konsep diri. Dalam konsep diri ini dibentuk bagaimana pandangan dunia, way of life, weltancshauung, seseorang dibangun. Pandangan dunia ini dibentuk dari bahan-bahan yang parsial kemudian diformulasikan menjadi bentuk konsep yang utuh dan idealnya membimbing, menjadi acuan dan formatan dalam bersikap.

Lantas bagaimana caranya membuat atau membentuk konsep diri ini, sejatinya pertanyaan ini menanyakan bagaimana pandangan dunia ini dibentuk. Sekarang kita bahas dulu mengenai pengetahuan dalam konteks Sosiologisnya. Sebab hal ini terkait erat dengan prosesi pengetahuan. Padangan dunia berasal dari bahan pengetahuan kita sehari hari atau common sense Namun celakanya, ditengah kehidupan bermasyarakat, banyak sumber pengetahuan yang bersifat taken for granted, misalnya konsep negara yang diajukan oleh Gramsci (lihat dalam Negara dan Kekuasaan). Sumber yang tanpa perlu diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas kehidupan ini.

Masyarakat dapat langsung begitu saja memakai pengetahuan taken for granted tersebut sebagai sebuah pandangan yang diyakini benar atau berguna untuk memahami dunia di mana manusia hidup. Jenis pengetahuan yang "tanpa perlu diolah lagi" tersebut tentu saja banyak dan tersebar, mulai dari sistem keyakinan, tradisi, agama, pandangan hidup, ideologi, paradigma dan teori.

Nah, setelah diyakini bahwa pengetahuan yang kita dapatkan ternyata banyak yang kita sendiri tidak terlalu tahu bagaimana asal usulnya; kenapa begini kenapa begitu. Namun sialnya, kita yang sebenarnya celingak-celinguk tentang pengetahuan itu ketika ada orang yang menanyakan sombongnya naudzubillah! Serasa hanya kita saja yang tahu, padahal pengetahuan kita belum tentu benar.

Untuk menyeimbangkan dan lebih menegaskan maka disinilah teori diperlukan dan menjadi penting. Teori sebenarnya bukan untuk kalangan intelektual atau kalangan expert an sich. Meski tidak sedikit yang berpandangan bahwa hanya kalangan intelektual atau akademisi saja yang membaca realitas sosial tidak dengan mata telanjang, melainkan dengan kacamata teori tertentu. Memang telah menjadi tradisi kalangan intelektual untuk membaca dunia menggunakan bingkai teori tertentu.

Ada yang menempatkan teori sebagai unsur utama dan pertama dalam memulai kajian ilmiah, oleh karena itu ada ungkapan no problem no science. Dalam konteks ini, teori bukan unsur pertama, melainkan hanya diposisikan sebatas pemberi inspirasi untuk mempetajam pencerapan realitas dan upaya pemecahan masalah dalam kehidupan ini.

Sesungguhnya Robert N Bellah mengatakan tidak ada realitas kehidupan yang dibaca telanjang dalam arti sebagaimana adannya. Cara kerja kaum intelektual, setiap kali kita harus melahirkan karya inteletualnya, memang tidak bisa lepas dari teori atau setidak-setidaknya tak bisa dipisahkan dari pengalaman pribadi nilai dan pangdangan dunia tertentu. Bahwa karya setiap orang bahkan ahli fisika nuklir sekalipun, berakar dalam mitos pribadi, dalam makna karyannya yang unik dan sebagian tidak disadari bahkan oleh dirinya sendiri.

Namun hal ini tidak dispesialkan hanya bagi kalangan intelegensia saja. Masyarakat awam sekalipun, seperti kita, sadar atau tidak, melihat realitas sosial tidaklah setelanjang yang dibayangkan orang. Setidaknya kalau toh tidak bisa dikatakan sebagai teori, maka sebuah pemahaman atas realitas yang dilakukan orang awam sekalipun selalu ada elemen yang bersumber dari bayangan mitos dan pengalaman batin secara pribadi.

Pengetahuan kita ini terdiri dari pengetahuan kita, itself yang terkait dengan pengetahuan aspek psikologis kita seperti arti hidup, mati, bahagia, sedih ; dan pengetahuan lain, otherself yang berkaitan dengan konteks sosial seperti; pengetahuan mengenai orang lain, masyarakat, bagaimana kita memandang realitas, pernikahan, dan lainya. Kumulasi pengetahuan-pengetahuan kita dan lain akan berkumpul dan menyusun sebagai bahan mentah padangan dunia dan membentuk konsep diri.

Kepentingan teori adalah memberi landasan bagi manusia melihat realitas kehidupan ini dari dimensi yang lebih inklusif mupun teori substansial yang memungkinkan manusia melihat realitas kehidupan ini secara partikular.

Sekarang mari kita bahas mengenai padangan dunia atau sering disebut dengan paradigma. Teori memang bukanlah sebuah pandangan dunia, tetapi ia memilik beberapa titik singgung. Betapapun teori dinyatakan bebas nilai, pada kenyataanya ia juga merukan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu. Oleh karena itu pada bagian ini mengajak untuk memahami seputar pandangan dunia, menyangkut konsep, elemen yang membedakannya dari sebuah paradigma berpikir.

Pandangan dunia dilihat dari segi isi memuat semua hal dan dari segi pengikut bersifat menyebar. Gamabaran tentang segala sesuatu dimunculkan dan persepsi yang kita peroleh dari penglihatan kita terhadap dunia sekitar. Karena padangan dunia yang dominan pada umumnyua dimiliki dan dijadikan pegangan oleh hampir seluruh anggota masyarakat, maka biasanya pandangan itu menjadi landasan masyarakat mendefinisikan realitas sosial.

Olsen mengartikan pandangan dunia sebagai "teropong mental" atau peta kognisi dan persepsi uang senantiada kita pakai untuk merumuskan cara hidup kita di tengah masyarakat. Menurut Olsen pandangan dunia yang berlaku du masyarakat bukan fenomena tunggal. Pandangan dunia tidak hadir sendirian, melainkan diiringi oleh berbagai pandangan dunia lain atau pandangan dunia alternatif.

Hanya masalahnya adalah seberapa jauh manusia dapat mengaktualisasikan pandangan dunia ke tengah kehidupan di mana ia hidup. Bisa nggak orang-orang melaksanakan apa yang diyakininya bener, bisa nggak melaksanakan apa yang sudah di omongin seperti yang rendra katakan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

Dalam hal ini, Olsen menemukan realitas yang menunjukkan bahwa pada umumnya orang suka beranggapan bahwa mereka menjaga konsistensi antara tindakan dengan pandangan dunia yang dimilikinya yang relatif utuh dan terjaga. Berbagai peristiwa yang merka hadapi mereka antisipasi dan respon berdasarkan cara-cara yang dinilainya sejalan dengan pandangan dunia yang mereka miliki, walaupun kenyataannya sering tidak menggambarkan konsistensi itu.

Misalnya, seorang pemimpin politik berpandangan bahwa memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan publik adalah sebuah keharusan tetapi ternyata tidak sedikit pemimpin yang bertindak tidak jujur. Mereka sepenuhnya memperhatikan kepentingan publik , kendati demikian mereka tidak mau dikatakan mengabaikannya. Mereka akan berkilah dengan menyatakan telah melakukan yang terbaik, padahal beberapa jaringan koordinasi dipangkas untuk kepentingannya. Dengan demikian mereka berusaha mencitrakan diri sebagai orang yang konsisten dan menolak telah bertindak atas dasar kepentingan mereka sendiri. Mereka dengan berani mengorbankan rakyat bahkan kekasihnya sendiri namun sayangnya kekasihnya juga tidak sadar bahwa sudah diperalat. Maka kita akan berkata cinta akan membutakan segalanya dan sekali lagi cinta tak membutuhkan logika.

Ketika tindakan seorang pemimpin politik menyimpang dari pandangangan dunianya maka dengan retorika ia akan mengalihkan model pemahaman peristiwa dengan membangun argumen misalnya apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang secara fungsional memang diperlukan, kerja kita memang udah maksimal katanya, kemudian mencari kambing hitam lainya maka takdir lah disalahkan bahwa kegagalan karena memang di luar jangkauan kita, selanjutnya mengendus-ngendus jikalau ada ayang mencium bau busuknya kemudian retorika orang kalah pun digunakan argumentasi kemanusiaan menjadi andala. Dengan kata lain kebohongan publik boleh dan perlu dilakukan untuk kepentingan keamanan nasional. Karena terdesak dengan keadaan tidak ada koordinasi kerja maka dilakukan oleh orang-orangnya saja. Jadi pandangan dunia seseorang bisa saja dan sering mengandung sejumlah kontradiksi.

Untuk mempermudah memahami sejumlah kontradiksi yang telah diutarakan dalam pandangan dunia maka perlu diurai sedikit mengenai, apa saja yang menjadi elemen padangan dunia. Dengan demikian menjadi tak terelakkan harus dimulai dengan mempelajari keyakinan atau sistem-sistem keyakinan serta nilai-nilai sosial tersebut.

Keyakinan, menurut Olsen, adalah gagasan spesifik mengenai berbagai aspek kehidupan yang diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh pemiliknya, tanpa memperdulikan munculnya berbagai fakta yang menyimpang dari apa yang diyakini tersebut. Sistem keyakinan merupakan merupakan dasar-dasar interrelasi keyakinan dari berbagai keyakinan yang berkaitan dengan kondisi sosial atau tipe aktifitas yang beraneka ragam.

Pada umumnya, kita cenderung lebih menyadari akan keyakina-keyakinan serta sistem keyakinan kita sendiri dari pada memahami pandangan dunia yang kiya miliki. Untuk maksud tertentu, biasanya kita bertindak secara rasional untuk menerima keyakinan-keyakinan dan sistem keyakinan kita, dan di saat lain kadang-kadang memilih dan memodifikasi ayai bahkan menolaknya.

Begitulah padangan secara teoritis bagaimana pandangan dunia dibentuk. Sekarang kita coba terapkan kepada orang yang memiliki pandangan dunia bahwa orang lain adalah penjara. Dengan alasan bahwa orang lain kadang memenjarakan kita. Kita ingin ini-itu, tanpa sadari, selalu dikontrol oleh orang lain. Kita ingin dilihat cantik dan tinggi maka kita terpaksa pake hak tinggi padahal kita sakit, lecet-lecet. Maka kita menyebut bahwa orang lain adalah penjara. Dan kita mengambil sikap jangan terlalu ngurusin dan nurutin perkataan orang lain. Kata orang lain kita ini feminis, kata orang lain pacar kita ini playboy memperalat, kata orang lain kita ini sombong, suka nyampurin urusan orang lain, kata orang lain kita bagusnya pake rok, kata orang begini dan begitu. Ucapan yang sering kita dengar adalah "malu atuh dilihatin sama yang lain" atau "gimana pandangan orang lain ya kalau saya begini" Dan kita nurut. Maka kita TERPENJARA dengan omongan orang lain. Kita berteriak ORANG LAIN ADALAH PENJARA…! JANGAN DENGERIN ORANG LAIN…! Jadi diri sendiri aja! Orang lain itu ngiri. Kita serta merta bertindak seenak kita, seenak udel, nggak mau 'dengerin nasehat oranglain, saran orang lain, kita lempeng aja. Karena orang lain adalah penjara. "Terserah gua, hidup hidup gua, apa urusannya dengan lo"

Tetapi disisi lain, ternyata omongan orang lain itu benar dan terbukti. Bahwa kita itu sombong, bahwa pacar kita itu playboy dan memperalat saja buat kepentingannya, bahwa kita itu jelek kalau nggak pakai rok, bahwa kita itu suka nyampurin urusan orang lain. Ternyata omongan orang lain itu benar. Jadi bagaimana? Keyakinan kita selama ini salah? Ucapan yang terdengar adalah "ah nggak, di mata gua pacar gua itu jujur. Nggak kaya gitu".

Dalam kasus ini, siapa yang mengetahui diri kita. Siapa yang benar, siapa yang salah. Misalnya, kita berkata kepada orang lain; bahwa kita itu pinter,jujur dan sebagainya. Tetapi orang lain nggak ngeliat kita kaya gitu. Maka secara otomatis orang lainlah yang banyaknya mengetahui kita ini kaya gimana, bukan diri kita lagi. Sebab, menurut Freud, kadang-kadang KITA NGGAK SADAR bahwa memang kita ini blo'onnya naudzubillah nggak ketulungan.

Lalu siapa yang benar aku atau orang lain? Tidak ada yang benar tidak ada yang salah. Yang salah itu kalau kita nggak 'nerima omongan orang lain, merasa kita benar padahal jelas salah. Yang jelek itu kalau kita nggak introspeksi diri. Salah NGOTOT lagi. Karena disatu sisi, kita adalah diri kita sendiri dan disisi lain kita adalah orang lain. Jalan tengahnya. Ucapan Voltaire sangatlah cocok "perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, karena itulah inti ajaran kemanusiaan". 'Dengerin perkataan orang lain dengan tanpa kecurigaan dan jangan mengangap diri kita ini benar. Selanjutnya hiduplah seperti biasa.

Itulah kontradiksi yang sangat kompleks dalam pandangan dunia atau konsep diri. Yang sangat berimbas kepada sikap hidup dan bagaimana kita menjalani rutinitas sehari-hari. Konsep diri ini menjadi sangat penting untuk mengatur sikap kita supaya lebih mantap dan tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Upaya menjauhi split personality, dan alienasi yang dikatakan oleh Erich Fromm. Untuk menutup akan saya kutipkan kata dari Bunda Theresa. Terimakasih teman, memberikan inspirasi tulisan ini. Dan cepat berubahlah kalau tidak aku yang berubah. Wallahu a'lam bish showab

Orang kerap kali tak bernalar, tak logis dan egosentris. Biar begitu, maafkanlah mereka.

Bila engkau baik, orang mungkin akan menuduhmu menyembunyikan motif yang egois. Biar begitu, tetaplah bersikap baik.

Bila engkau mendapat sukses, engkau bakal pula mendapat teman-teman palsu dan musuh-musuh sejati. Biar begitu, tetaplah meraih sukses.

Bila engkau jujurdan berterus terang, orang mungkin akan menipumu. Biar begitu, tetaplah jujur dan berterus terang.

Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin akan dihancurkan seseorang dalam semalam. Biar begitu, tetaplah membangun.

Bila engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri. Biar begitu, tetaplah berbahagia.

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, sering bakal dilupakan orang keesokan harinya. Biar begitu, tetaplah lakukan kebaikan.

Berikan pada dunia milikmu yang terbaik, dan mungkin itu tak akan pernah cukup. Biar begitu, tetaplah berikan pada dunia milikmu yang terbaik.

Ketahuilah, pada akhirnya, sesungguhnya ini semua adalah masalah antara engkau dan Tuhan; tak pernah antara engkau dan mereka.

-Bunda Teresa-

02 juni 2006

apresiasi

APRESIASI SENI; Dalam Rangka Hari Film Nasional

-pengantar diskusi-

Oleh; te. Ditaufiqrahman[1]

Carlos Saura

(ibu kesenian adalah imajinasi dan rasionalitas).

-Francisco De Goya-

Prolog

Tanggal 30 Maret, tepat di peringati hari perfilman nasional. Pada tahun 1950 Usmar Ismail membuat film The Long March (Darah Dan Do’a) yang kemudian hari pertama pengambilan gambarnya diusulkan menjadi hari film nasional, hal ini bukan tanpa alasan meskipun saya sendiri belum pernah menonton filmnya, tetapi yang jelas Darah Dan Do’a ini seratus persen Indonesia dari mulai pendanaan sampai ide yang genuine sangat Indonesia.

Selanjutnya, bagaimana nasib perfilman Indonesia sekarang? Begitulah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para sineas perfilman, yang kemudian dijawab dengan semangat film Indonesia mesti bangkit!

Apanya yang mesti bangkit? Itu mungkin pertanyaan bagi saya yang bukan insan perfilman. Sebenarnya saya juga termasuk insan perfilman tapi mungkin golongan yang “nggak serius”, maksudnya saya hanya menempati posisi sebagai penonton dalam kancah perfilman nasional bukan praktisi apalagi pencipta.

“Berkembangnya televisi swasta” JB Kristanto menegaskan dalam tulisannya Film Indonesia Dan Akal Sehat “bersamaan dengan surutnya produksi film Indonesia. Hijrahnya orang-orang film ke televisi” lanjutnya “ tidak hanya hijrah secara fisik, tapi juga secara pikiran. Yang terakhir ini dengan mudah bisa dilihat dari genre film khas yang ikut pindah ke televis; rumah tangga, remaja dan mistik”

Penting kiranya saya memposisikan terlebih dahulu film sebagai sebentuk karya seni modern. Hal ini sangat logis ketika sebuah pertunjukan teater dianggap sebagai sebuah puncak kulminasi kreativitas seni akan tetapi hal ini bukan berarti saya berpretensi untuk melebihkan salah satu aktivitas seni ketimbang yang lainnya, pertimbangan ini saya ajukan lebih dikarenakan pertunjukan teater dimungkinkan memuat berbagai macam karya seni mulai dari naskah, tarian, lukisan, nyanyian dan lain sebagainya.

Maka menganggap film sebagai bentuk teater modern adalah niscaya. Film lahir dan hadir di sebuah keluarga seni bak sebagai seorang anak. Namun bagaimana keadaan sang anak setelah dewasa, apakah sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh keluarga atau tidak itulah yang jadi persoalan Rosihan Anwar.

“ … kecuali sebagian kecil, film-film ini sama sekali tidak memperlihatkan keterlibatan social. Beberapa film mencoba berbicara tentang masalah social, tapi lantaran kurangnya persiapan dan pengenalan lingkungan maka masalah social yang ditampilkan terasa sangat dibuat-buat dan semu. Yang ingin kita lihat dalam film kita adalah gambaran dari manusia dan kehidupan Indonesia yang ada. Keinginan untuk menggambarkan ini ada pada beberapa film yang turut festival, tapi karena penggambaran tokoh maupun lingkungannya tidak utuh, maka gambaran itu tidak menjadi meyakinkan.

Penulis skenario, sutradara, dan editor belum menguasai wawasan dramaturgi yang memadai. Film-film peserta kali ini dipenuhi kejadian-kejadian kebetulan tidak bermotif… juga fotografi film kita masih ada pada tingkat menciptakan gambar-gambar yang baik. Fotografi dalam film kita belum memenuhi tuntutan dramaturgi. Demikian juga dalam ilustrasi musik dan pengarahan artistik” (kompas, 3 maret 1977 seperti yang dikutip dalam tulisan Jb Kristanto)

Dengan menggunakan standar dan penilaian yang disebutkan Rosihan Anwar di atas; Lantas bagaimana dengan sinetron yang mendominasi siaran televisi kita. Arswendo mengatakan “… kemudahan dianggap penyelesai masalah, sehingga proses tak penting benar. Kemudahan sudah terbiasa dalam sinetron; tokoh-tokohnya harus cantik dan tampan, sekali menelepon mendapat sambungan, selalu tersedia tempat setiap mau parkir, hidup berkecukupan tanpa jelas apa pekerjaannya; tapi bisa jahat tanpa alasan; nenek bisa membunuh cucu, mertua meracuni menantu, si cantik berpasangan suami tolol lahir batin dan atau kalau perlu berubah menjadi hantu”

Film, Televisi Dan Keterlibatan Sosial

Mungkin itu yang mesti dibangkitkan dalam perfilman Indonesia. Film mesti ada keterlibatan dalam wacana sosialitas sehari-hari dan hal ini diniscayakan oleh kehidupan dan sejarah idealisme sebuah karya seni. Begitu juga, televisi sebagai media yang mutakhir, mesti melibatkan diskursus realitas social yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Anggaplah televisi semisal Colloseum di Roma yang pada zaman dahulu berfungsi sebagai ruang public dan media untuk menyampaikan pesan-pesan dan gagasan-gagasan, pertunjukan teater sering dipertontonkan di dalamnya. Jadi ada perkenalan dan pertempuran nilai-nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma yang meliputi pandangan hidup seseorang, dalam hal ini pencipta naskah yang ditampilkan.

Saya menyandarkan tesis itu pada sebuah asumsi dasar bahwa film adalah sebuah karya seni dan karya seni adalah sejenis aktualitas kerja mental manusia yang paling jernih. Francisco De Goya, pelukis besar Spanyol mengatakan Carlos Saura; ibu kesenian adalah imajinasi dan rasionalitas[2].

Kalau saya mau mengkonfirmasikan ucapan De Goya dengan realitas pertelevisian sekarang, sangat ironic dan miris sekali, ketika sajian televisi lebih banyak mempertontonkan, seperti yang disebutkan oleh Arswendo diatas, kemudahan-kemudahan; mau parkir tersedia tempat, mau makan tinggal makan, hidup enak padahal nggak jelas pekerjaan. Penggambaran seperti ini tentunya sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang kita dapati sehari-hari. Sangat paradoks!

Kalaulah kita sepakat menerjemahkan film sebentuk realitas-virtual sebagai pantulan dari eksistensi masyarakat yang meliputi gaya hidup, pola pikir dan segala tetek bengek etos kehidupan lainnya, maka secara tidak langsung seni yang telah bermetamorfosa dalam wajah modernitas telah mempecundangi kenyataan. Para seniman kini tidak menciptakan karya atas dasar kejernihan batin dan pikirannya. Seni telah menjadi “air seni” yang berbau pesing.

Maka pada akhirnya, saya sering dibingungkan dengan sajian televisi; entah itu film, sinetron, kuis atau apapun acaranya, apakah yang digambarkan dalam televisi itu adalah realitas yang benar-benar terjadi dalam masyarakat? Harapan yang diinginkan oleh masyarakat dalam kehidupannya atau bahkan rasa frustasi masyarakat?

Mungkin saya perlu juga menginformasikan apa sebenarnya yang diinginkan bangkit dalam perfilman Indonesia, ada yang memahami secara substansial ada yang hanya sebatas formal. Pertama formalitas terkait dengan kuantitas maka yang dituntut dari kebangkitan perfilman adalah sering berkarya-nya para sineas film tak peduli bagaimana bobot film yang dikeluarkannya itu yang jelas ada produksi film

Misalnya, anggapan ini disinyalir dari, data-data sinematek Indonesia yang masih rajin mencatat produksi film Indonesia, menunjukan bahwa keruntuhan itu didasarkan pada besar kecilnya produksi. Sinematek mencatat kemunduran terjadi mulai tahun 1998 sementara tahun-tahun berikutnya 1999; tiga judul, 2000; tiga judul, 2001; empat judul dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Loetoeng Kasaroeng (1926), Siloeman Babi Perang Siloeman Monyet (1935), Darah Dan Doa (1950), Apa Jang Kau Tjari Palupi (1969), Kabut Sutra Ungu (1979), Wadjah Seorang Laki-Laki (1971) Cinta Pertama, Bulan Diatas Kuburan (1973), Perkawinan Dalam Semusim (1976), Mama (1972), Sesuatu Yang Indah (1976), Kembang-Kembang Plastik (1977), Pengemis Dan Tukang Becak (1978), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), Naga Bonar (1986)[3]

Kedua, pesoalan kualitas film yang dikeluarkan pun tak urung mendapat perhatian keras dari para pengamat film. Saya akan membagi hal ini kepada dua bagian, pertama incontent, terkait dengan elemen dasar dalam pembuatan film itu sendiri bagaimana tata artistiknya, musik, pengaturan peran, sinematography, editing gambar, penyutradaraan dan lainnya, kedua othercontent, hal inilah yang, meminjam istilah Rosihan, mencakup keberadaan film dan keterlibatan dengan lingkungan socialnya sehingga kita tidak akan mendapati film yang a social. Persoalan incontent inilah yang dalam teater diatur dalam dramaturgi.

Incontent dimaksudkan sebagai “logika dalam dirinya[4]”. Maksudnya adalah bahwa setiap karya seni memiliki logika sendiri yang sangat mungkin berbeda dengan realitas kehidupan biasa, bahkan juga dengan karya seni yang lain, meski dari jenis yang sama. “Logika dalam” inilah yang menyebabkan adegan berlari di atap-atap rumah atau perkelahian di pucuk bambu dalam film Crouching Tiger Hidden Dragon.

Tentang malaikat yang bisa malang melintang melintasi kota berlin tanpa kelihatan, dalam film Wing Of Desire, mendengar pikiran manusia dan ingin jadi manusia. Dua film yang sama-sama bersifat puitis ini menjadi sangat menarik saat diikuti dan juga sama-sama meyakinkan meski mungkin “tidak logis” bila dikaitkan dengan realitas sehari-hari.

Logika dalam ini atau incontent datang pada saat sang pencipta mengawali penciptaannya dalam bentuk apapun, ia bisa berimajinasi berupa karakter satu tokohnya, bisa juga plot sebuah cerita, sebuah masalah tertentu, sebuah citra tertentu atau sebuah gambar tertentu. Hal ini memang bukan hal baru bahkan mungkin sangat kuno. Dan posisinya sangat mendasar dalam penciptaan karya baik yang bersifat seni maupun yang serius maupun sekedar hiburan yang diniatkan untuk mencari uang semata.

Pada tataran operasionalisasinya incontent dan othercontent saling berkaitan, begitu sudah menetapkan awalan tadi, maka pencipta tidak lagi bebas. Ia harus mematui konsekuensi logis dari yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ia tidak lagi bisa semena-mena memperlakukan tokoh ciptaannya atau jalan cerita yang sudah disusun awalannya. Ini merupakan hukum umum dasar penciptaan karya seni dari jenis apapun. Hal ini pulalah yang menyebabkan perlunya ada penelitian khusus dan mendalam mengenai apa yang diperlukan sampai ke soal-soal yang sangat sepele sekali seperti jenis tata rambut, pakaian, tingkah laku dan lain-lain. Ketika sudah menetapkan elemen incontent maka mau tidak akan berimplikasi pada penentuan bentuk othercontent-nya.

Berikut saya petikkan contoh pemugaran incontent dan othercontent oleh Jb Kristanto “… maka Beth banyak bicara soal besar, sekaligus bisa juga dikatakan tidak berbicara apa-apa, karena hal-hal besar tadi tidak diuraikan dengan cukup memadai. Hal yang paling besar yang ingin inyatakan kira-kira adalah bahwa masyarakat kita sakit, sama dan sebangun dengan dunia rumah sakit jiwa yang dijadikan tempat peristiwa berlangsung. Karena tokoh-tokohnya adalah orang dengan kelainan jiwa, maka penulis scenario maupun sutradaranya (Nana G Mulyana dan Aria Kusumadewa) mera bisa berbuat dan menyatakan apa saja, tanpa pemahaman cukup tentang jenis-jenis penyakit jiwa yang sangat beragam dan dengan dirinya akibat pada tingkahnya juga sangat beragam”

“Lantas dengan demikian” lanjut Kristanto “ lewat tokoh-tokoh sakit jiwa ini, penciptanya seolah-olah bebas melontarkan apa saja yang ingin dilontarkan, tanpa harus berkutat cukup keras apakah itu sesuai dengan ‘kenyataan’ rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang jadi dunia rekaan yang diciptakannya”

Maka idealnya, seorang seniman dalam mencipta karya mesti berlandaskan pada fakta-fakta social yang terjadi di masyarakat. Sehingga proses penciptaan tidak lebih menekankan pada sisi imajinasi. Padahal, imajinasi seliar apapun akhirnya harus tunduk pada hukum penciptaan yang lain yaitu logika.

Dengan demikian ada tuntutan moral yang seharusnya diemban oleh seorang seniman dalam mencipta sebuah karya. Sehingga karya yang diciptakannya tidak a sosial dan a historis. Terlepas pada adanya aliran dalam setiap proses kesenian; idealis, realis, ekspresionis dan lain sebagainya yang jelas sebuah ide tidak muncul dari ruang hampa semisal kehidupan tak berasal dari tiada, creation ex nihilo.

Film Dan Televisi; Sudut Pandang Tonton-Penonton

Tentunya sangat berbeda sekali bagaimana seorang praktisi film dan televisi dengan penonton memandang sebuah tontonan; film, sinetron, reality show, teater jenis tontonan lainnya. Pada kesempatan, kali ini saya akan mengemukakan beberapa anggapan dasar tentang tonton-menonton dalam catatan Putu Wijaya.

“Apa sebetulnya tontonan itu?” begitu aju putu “setiap hari hari kita melihat banyak hal yang sama kalau ada yang terlihat aneh dan lain, baik karena lucu, sedih, menyentuh perasaan, membangkitkan semangat, membuat jengkel dan lain sebagainya, termasuk yang memberikan tikaman keindahan. Kita menyimpannya sebagai kenangan

Tontonan sebagai kesenian dengan demikian berfungsi memilihkan begitu banyak unsur tontonan dalam kehidupan nyata, menjadi satu paket ia juga befungsi untuk mengahadapkan secara bersama-sama mengalami satu peristiwa yang sama.

Totonan sebagai kesenian dengan demikian tidak benar-benar murni kejadian. Didalamnya ada ide. Ada unsure pemaketan. Ada pengarahan, ada sentuhan-sentuhan manusia sehingga tontonan tersebut benar-benar memiliki kencenderungan konteks, karena ia memang merupakan alat komunikasi antara seorang creator dengan penonton. Ia mempunyai fungsi social selain disiplin artistic.

Penonton di samping, berbeda kepala dan perasaan, berbeda pula kepentingannya. Makin beragam jenis tontonan yang muncul, makin banyak nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Dan makin banyak seorang penonton dapat menerima arus tersebut, makin terbukalah cara berpikirnya. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa seni tontonan yang sedang berkembang adalah potret batin masyarakatnya. Barangkali boleh dikatakan, menilai keadaan suatu masyarakat cukup dengan meneliti seni tontonannya.

Seni tontonan pada akhirnya juga mewakili juga hasrat masyrakat, impian dan kenyataan yang sedang berjalan, atau masa lalu yang tetap hidup. Dalam kehidupan, seni tontonan merupakan jendela yang berfungsi majemuk. Baik sebagai tempat untuk menghibur diri, menambah pengetahuan, maupun untuk keseimbangan rohani. Seni tontonan merupakan peragaan dari fungsi-fungsi tersebut.

Tetapi yang paling menarik, seni tontonan, selalu hadir sebagai hiburan. Fungsinya yang begitu banyak dan penting tidak menakutkan masyarakat, sehingga tontonan tetap hadir akrab dan mesra dengan masyarakat. Tapi bagi mereka yang suka bertanya-tanya, suka menyelidik dan mengorek-ngorek, pasti segera dapat memahami bahwa di balik baju tontonan yang sederhana dan akrab itu ada perenungan nilai-nilai kehidupan yang terus bergrak. Sebagai akibatnya, tontonan selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya, sekaligus tak pernah kehilangan bobot dan nilai artistiknya.

Di dalam konsep tontonan, tidak semua penontn benar-benar menonton. Mungkin mata mereka terbuka, tapi pikiran mereka tidak dapat mencerna. Ada yang terlibat secara rohani. Ada yang melihat, mendengar akan tetapi sementara itu saluran aktivitas rohaninya tetap berjalan sendiri sehingga selama pementasan berlangsung, ia juga melakukan pementasan sendiri di dalam dirinya. Ada juga yang sama sekali tidur di dalam pertunjukkan akan tetapi ketika usai ia dapat mengatakan apakah baik atau buruk.

Ada juga yang hanya menonton satu kalimat yang terpenting di dalam keseluruhan dialog yang dimuntrahkan atau satu adegan kecil dari rentetan adegan yang berjam-jam lamanya. Juga ada yang terus berbicara selama pertunjukan berlangsung akan tetapi mengerti apa yang sedang terjadi. Ada yang hanya menonton satu menit lalu pergi karena sudah merasa tahu.

Sebagian lagi dari rumah sudah memastikan akan menonton apa lalu menonton menjadi usaha untuk mencari apa yang sudah diduganya. Ada lagi yang ingin menonton sesuatu yang sangat disukainya dan langsung bereaksi berang manakala tidak menemukan itu. Dan akhirnya ada juga yang menonton dengan tekun dari a sampai z tetapi tidak pernah benar-benar hadir secara utuh dalam peristiwa itu.

Belum lagi diornamentasi-I dengan perbedaan status social, ekonomi, agama, intelektual, pandangan politik, prinsip moral, opini dan kepekaan dalam menerima. Belum lagi ditambah dengan perlengkapan emosional. Sebab sebuah tontonan adalah sebuah pesona yang mengandung rencana. Ia memiliki latar belakang, tema, isi, arah dan kecenderungan, sasaran, cita-cita, bentuk, komposisi, dialog, proses dan persiapan-persiapan. Meskipun tontonan seringkali tampi sewajarnya seolah tanpa perencanaan.

Namun kalau dibongkar akan muncul kode-kode rahasia yang menunjukkan bahwa ia benar-benar telah diproses dengan teliti. Tontonan adlah sebuah kreasi manusi yang tercipat dengan kesadaran atau bawah sadar creator. Sebuah tontonan memiliki bingai, sudut pandang, interpretasi dan sentuhan yang akan memformatnya menjadi sesuatu yang layak ditonton.

Sebuah tontonan tidak pertah tanpa rencana. Tidak pernah tanpa tujuan termasuk kalau tujuannya tanpa sebuah tujuan dan rencana. Ia tidak dating dan terjadi begitu saja. Ada konsep, ada proses, ada pengendapan, ada perenungan, pemikiran. Tontonan adalah pangkalan untuk melancarkan kritik dan protes. Untuk mengajak penonton memikirkan kembali nilai-nilai yang sudah disepakati atau diyakini. Untuk meyakini atau meraguakan manusia awas melangkah dalam kehidupan selanjutnya.

Tontonan adalah sebuah alat ekspresi. Untuk melontarkan buah pikiran, gagasan, renungan, perasaan-perasaan manusia perorangan atau kelompok manusia.

Pakem Dalam Menonton

Berbicara masalah pakem menonton tentunya tidak bisa tidak akan membicarakan masalah pandangan pribadi. Karena terkait dengan menonton tentunya pula mengunakan nalar, persepsi, paradigma dan panadngan dunia yang sangat terkesan subjetif.

Dua orang menonton satu film tidak akan menjamin akan memiliki pemahaman yang sama akan film itu pasti berbeda. Karena itulah kekhasan dan keunikan manusia. Tak pernah sama dan tak akan selalu beda. Kendati semuanya menjadi kumpulan subjektifitas akan tetapi ada pakem yang membuat segalanya bisa objektif.

Salah satu pakem objektivitas itu adalah; fakta. Dalam hal ini, biarkan film itu berbicara apa adanya tanpa disertai pra asumsi yang liar disertai harapan, keinginan atau yang lainnya, hal ini diniscayakan perlu setidaknya untuk mengurangi subjektivitas pendapat. Secara teoritis hal ini terkesan sangat fenomenologis.

Selanjutnya dalam rangka menonton film perlu digunakan sudut pandang mana yang hendak dipakai untuk memahami sebuah film karena sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.

Misalnya apakah kita akan membicarakan film dalam “logikanya sendiri” bagaimana penata artistiknya, bagaimana plot yang dibangun dalam keseluruhan film itu? Apakah sudah mendukung pesan dari film itu sendiri atau belum? Editingnya, apakah tidak terlalu banyak shot yang basi dan mubadzir, pencahayaan dalam gambarnya dan hal lainnya lagi yang terkait dengan sinematografhy .

Atau malah kita akan memperbincangkan film itu dalam othercontent; apa pesan yang hendak disampaikan? Bagaimana cara film itu menyampaikan pesannya itu? Kenapa film menyampaikan pesan itu apa yang melandasi munculnya film itu?

Akhirnya, membicarakan sebuah film tak lain dan tak bukan semisal membicarakan sebuah kehidupan yang sama runyamnya untuk bisa mengerti satu orang saja. Sebab dalam film dimunculkan kejadian dan tak ada satu orang yang akan mempersepsi sama terhadap satu kejadian.

Selamat mempersepsi tanpa sabuk pengaman!.

Wallahu ‘alam bishowab.

Bandung 31 maret 2007



[1] Penulis adalah Koordinator Jarik (Jaringan Islam Kampus) Bandung, Jaringan Intelektual Muda (JIM) MABIM sekarang menjabat sebagai ketua umum LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman),

[2] Bentara, Jb Kristanto “Film Indonesia Dan Akal Sehat” (Jakarta, Penerbit Buku Kompas; 2002) hal 226

[3] Ibid … hal 215

[4] Saya mendasari penjelasan ini pada tulisan Jb Kristanto, Film Indonesia Dan Akal Sehat

pertanyaan

"Hidup yang tidak dipertanyakan" demikian ungkap Socrates "tidak layak untuk dilanjutkan". Pemeo ini sangat klasik bahkan mungkin terkesan basi, bagi mahasiswa filsafat dan yang menekuni kajian filsafat ungkapan ini sudah sangat tidak asing lagi dalam pendengarannya, seperti halnya ungkapan Socrates yang lain "…yang aku tahu adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa"

Pemeo ini menerobos ruang dan melesat dalam lingkaran waktu sehingga terasa sangat mengabadi, selalu up to date. Hemat saya, tak ada kata ketinggalan jaman untuk menanyakan kembali arti hidup kita sekarang ini. Dahulu, sekarang, esok, kemarin sampai saat nanti juga pernyataan Sokrates itu tetap bisa berlaku.

Namun sayang, ditengah pikuknya zaman dan hiruknya masa, hanya sedikit saja orang yang mau meluangkan waktu untuk mempertanyakan "hidup"nya itu. Persoalan "hidup" bukanlah persoalan yang abstrak dan absurd seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang.

Persoalan hidup adalah persoalan yang sangat sepele. Permasalahan yang sangat nyata dalam hidup keseharian misalnya; kenapa kita kuliah? buat apa kuliah? Itu adalah persoalan dan pertanyaan yang harus dijawab, meski sebagian orang menganggapnya tidak penting dan tidak perlu.

Itulah mengapa, karena kita menganggap pertanyaan-pertanyaan itu tidak penting dan tidak perlu maka akhirnya hidup kita juga tidak begitu penting untuk dilanjutkan, tidak begitu perlu untuk dilanjutkan.

Mau contoh; berapa banyak sih mahasiswa yang serius dalam menjalankan hidupnya itu, mari saya ganti kata hidup dengan kuliah karena terlalu serem juga menggunakan kata "hidup"; berapa banyak mahasiswa yang serius dalam menjalankan kuliahnya. Bisa dihitung dengan jari yang itu juga terengah-engah, tergopoh-gopoh karena mesti terus bertempur dengan segala beban dan aralnya, selebihnya mahasiwa hanya menjalankan ritual-rutinitas masyarakat.

Malu karena dicap menjadi pengangguran yang nantinya menurunkan derajat sosialnya akhirnya mendaftar menjadi mahasiswa. Mau hidup tetapi belum bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya akhirnya menjebloskan diri menjadi mahasiswa, dan kebutuhan hidup pun tersantuni. Mahasiswa berkeliaran tanpa tujuan, demonstrasi tanpa arah, mengadakan seminar-diskusi tanpa jelas juntrungannya, karena modus operandi dari kuliahnya tidak dipertanyakan, maka ungkapan sokrates bisa jadi begini; kuliah yang tidak dipertanyakan tidak layak untuk dilanjutkan, mendingan cuti atau THR dululah.

Bagi saya, hidup seseorang itu tergantung dari apa yang dipertanyakannya, sebab pertanyaan-pertanyaan itu nantinya juga membentuk dan akan menjadi etos building dalam kesehariannya. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan menjadi penting dalam rangka membangun konsep diri yang lebih jelas, terarah dan tegas; terserah apapun itu pertanyaannya.

Namun pertanyaan yang paling penting adalah pertanyaan yang bisa mendialogkan diri dengan kenyataan sehari-hari, dialektika self dan other self (lingkungan, orang lain, ideology, norma, agama dan lainnya). Kalaulah pertanyaan tidak penting, bukankah elemen yang paling penting dalam agama adalah Tuhan, dan bukankah nabi Ibrahim mencari Tuhannya dengan pertanyaan.

Lantas, apakah yang paling penting dalam kehidupan tentunya "hidup" itu sendiri, kalau pertanyaan tentang hidup sudah tidak dianggap penting; apa jadinya kalau hidup kita nggak penting?

Sudah saatnya kita menganggap hidup kita ini penting! Dan kepentingan hidup tergantung apa yang dipertanyakan dalam kehidupan. Wallahu 'alam bis showab. (te.Ditaufiqrahman)

sajak-sajak

Tanya

Diam dalam diam

Tenggelam seribu kata

Menerawang hutan belantara

Gadis perawan, dimanakah?

Laut biru tak menawan

Langit hanyut dalam tawanan

Dugas di atas pasir putih tak keruan.

Perempuan, permata hati, akankah?

Sekujur tubuh tak terindah

Megah

Hanya terbersit satu tanya

Iyakah ?

‘05

Di Sela Kerumunan

Telah hilang impian sudah

Mengintipnya di sela kerumunan

Berharap cemas menemukan

Melang sesuatu terjadi padanya

Tak hiraukan seluruh

Betul, hanya bisa mendambakan

Tak kunjung berhenti

Tak bisa terobati

Seandainya bisa duduk bersanding

Tuan,

Dia hanya impian saja tak berbanding

Mengoyak jiwa

Luluh. Lantak. Binasa.

Tak bersisa.

‘05

Ciut

Kulihat dia masih mempesona

Bak bulan menerangi jelaga

Pandangan matanya

Hangus, hanguskan jiwa

Ini hanya sebuah serenada

Buat anda; Dinda

Dari seorang pengecut

‘05

Kesiangan

Tap...tap…tap…

Uuuuhh…uuhh

Suara riuh rendah

Bergemuruh mengejek

Dasar sok indah!

Kelakar bertambah

Berjalan kaku

Takut salah

Tengok kiri-kanan

Duduk

Dan selesai sudah.

10 Juni ’05

Lesu

Pagi yang lesu

membuta

dungu melungu

tanpa kopi, hilang semua

angin segar seperti biasa

lesu terus

melungu

‘05

Sejenak Saja

Waktu terasa tidak berjalan

Hati. Takut menyekutukan Tuhan.

Dia. Hanya seorang perempuan

Tolongi-ku lewat kata-kata, terbebaskan

Dia hanya perempuan

Tak ada penyekutuan

‘05

Kilas Bayangan

[di bis]

Yakinku menggebu-gebu

Apakah ini tipu

Atau sekedar pengobat rindu pada hati yang pilu

Dengan segenap hati aku mencintai

Tapi aku tak yakin kau kumiliki

05 Juni ‘05

Serapah

Bahwa tak ada yang baru di bawah matahari

Pertemuan dan perpisahan datang silih berganti

Tak usahlah kau takut; mati

Karena, sekali berarti sesudah itu mati.

Cahaya,

Lentera

Dian…!

Nur ulfah

Tak ada yang abadi, takkan ada yang kekal

Semua pasti musnah

Mengenai jenuh

Tulis

Santai

Andai

Baca

Kata

Bisa

Tak

Bisu

Jenuh

Untuk-mu

Dian.

26 Juni ’05

Tak Ingin Berbekas

Kenangan hanya sekilas

Kuharap pantas

Tak terlalu ganas

Aku hanya inginkan itu, manis

Nasi akan segera nanak

Kenangan hanya berharap sekilas

Sayang ‘dia ada yang menunggu

Kalimat terlampau bias

Itu saja

29 Juli ’05

Hitam

Menyeruak burung gagak

Keluar dari sangkar

Mata tajam nanar menatap

Bergerak…!

Menyibak…!

Sayap terbentang di angkasa

Murka

Menengadah kepala; congkak

Inilah; Aku

Terbang…

10 sept ’05

Suara

Mengental

Suaranya mantul

Ih…gila, merinding

Kendati bingung pilihan kata untuk mewakili; apanya

Mengental

10 September ’05

Bangun Tidur

Udara berkerling dimata

Pagi lelah tak merasa

Sayup sedan sehabis kehidupan semalam

Begitu bosan untuk dipaksakan

11 September ’05

Onggok (?)

Berjalan dengan kepala

Berpikir dengan perut

Bertindak seenak udel

Nista !

Jenggut

Cabut!

Sebel pada kesel

11 September ‘05

Opera Manusia

Pasukan mengangkat senjata

Lapangan, debu pekat menyeluruh

Beribu gejolak tak berpengharapan

Keringat bercucuran. Darah kering kerontang.

Langit menatap panik.

Bumi menjerit.

‘kenapa mesti terjadi perang?”

Genderang berbunyi :

Satu persatu lawan tumpah

Darah berbuncah

Seketika lapangan berubah menjadi tempat jagal

manusia

Dimanakah kedamaian bersembunyi

Kudapati di tawa anak kecil

Itupun hanya secuil.

11 September ‘05

Ode Seorang Teman

Temanku berkacamata

lucu dalam berkata

berucap, berujar

membuat semua kelakar

hi…hi…hi…

mengingat wajahnya

Gunung Eskimo gugur dalam dedaunan

Satu kata;

Dingin

Pernah aku berkata dengan dirinya

Hanya seutas senyuman menyapa

‘ah…pura-pura aja.”

‘jadi’ararisin’ucapnya,

menyapa kepada semua orang

Dedaunan turun dari pohon tak keruan

Bintang gemerincing tak tahan.

Tarian India

Satu kata untuknya

Wajah; dingin.

11 September ‘05

Dua Paras

Sumpah…!

Aku pun suka

Tapi kepada keduanya

Tak mengapa, ya?

Meski kuburan tak boleh untuk berdua.

Hati bisa untuk bersama

Salam

11 September ’05

Ode Temanku Lain

Tak berkata

Hanya jiwa berjiwa

Lagak tak congkak

Menatap warna biru keabua-abuan

Tak akan menyangka, bila semua orang

bila

Tak akan mengeluh, bila semua orang

ketika

Tak akan menanya, bila setiap orang

dia

Tak akan meragu, bila setiap orang

cinta

Bila ketika dia cinta

Semua orang tak percaya.

11 September ’05

Kata Langit

Wahyu…

Tafsir bukan datang dari langit

Bukan untuk berkelit

Bukan untuk berpikr dengan sengit

Apa kehebatan pawang ?

Mereka memiliki bahasa untuk terbang

Bersama dengan burung

Tanpa urung

Menerjemahkan

Berjalan dengan kepala

Berpikir dengan perut

Bertindak seenak udel

Nista…!

Merenggut.

Berkata-katalah dengan kata, berbicara jangan bisu

Berbicara dengan ungkap tanpa terperangkap

Nggak bicara melulu

Nggak akan terlalu

Sebuah ide besar bukanlah berjalan di kepala, hanya

Ide besar bisa mendarat dalam dunia nyata

Kata langit ‘tolong sampaikan kata-ku padamu’

13 September ’05

SILAM

Masa lalu,

tak akan menoleh kebelakang

biarlah berlalu tanpa ragu

terobos hari

Temukan makna diri

Serakan kenangan anggap semua; mati!

Karena, hari ini dan selanjutnya adalah hari esok.

13 September ’05

Panas

Kieu panas cari materi

Tak tahu diri

Melejit di hari

Melesat kian mentari

Keringat mencuci badan; laut nil menutupi

13 September ’05

Pemuda

tatapan matanya tegak

suaranya serak

berkoar bahkan menyaingi kokok ayam jantan

hanya untuk beberapa ratus perak

16 September 05

Diam

Di sekitar berisik

Nurani terusik

Induk ayam digangu ‘tika nyileungleum

Nggak enak

Disekitar kata berserak

Berak…!!

Bekat. Tak terkendali.

Perasaan tak bersabuk pengaman

Duduk, tak beranjak

16 September 05

Sendiri

duduk sendiri

riak air dalam keheningan malam

sunyi,

kendaraan melesat tak bertepi masuk dalam kelam

sepi

17 September 05

Padahal

padahal anjing menggong-gong

aku tetap berlari

tak perduli, berjalan dengan hati nurani

wajah dingin mata nyalang tak mengangkang

selurus jalan tol tanpa sabuk pengaman

renggut, cabut

seperti paku skrup

wajah perempuan hanya selintas bayangan

tak ada kenangan

selamat tinggal masa lalu

17 September 05

Diskusi

Semua orang bertanya

Meski tak sampai bersuara

Dalam hati saja

Semua orang berwacana

Meski tak sampai berkata

Dalam pikiran saja

Berbicara tentang sesuatu

Apapun itu

Calo mendengking mencari penumpang

Moderator mengatur, jangan sampai jatuh terlarang

Ada satu orang

Selalu menggunakan pena

Mendokumentasi setiap kejadian rasa

Ada yang gerang, bete, ngantuk, berapi-api

Kulepaskan celana berlari ke laut lepas

Cepat dan tandas

17 September 05

NGANTUK

Halis mata beradu pelu

Retina mata tak kuat menahan beban

Kepala terantuk-antuk

Tidur. Dari kejauhan

Kematian jangka pendek

Membuka mulut mengeluarkan udara

Uap, kereta api

Menguap, air panas

Menguap. Ngantuk

Tidur…!

Zzztztttzz….

17 September 05

MALU

I

Kata ini kadang mengkungkung jiwa

Dalam penjara merana

Tiada ingin keluar darinya

Tanpa harapan di asa

Selaksa puri berwarna merah jingga

Berkabut, kebiru-biruan

Sampai akhir selayang kosong

Berlari kaki tak ingin

Berteriak mulut terkatup

Di balik jeruji, mereka menyebut nista

Orang-oranmg menuduh pada hidung mancung depan senjata

Tak percaya-caya pada ungkap kata

Dari mana saja

II

Ingin keluar sungguh

Tak ada pesan menyeluruh

Tiada pesan di sekujur tubuh

Sementara aku pergi berlari dengan air mata

Tajam

Mencolok

Hanya daging sepotong seonggok

Biduan menyanyi

Tapi tak menghiburku lagi

Lagi lagi dan lagi

III

Aku mau pergi kaki tak ingin

Ingin melompat jantungtak kuat

Menjerit mulut terkatup

Rapat

Hanya

diam…

17 September 05

PASANGAN

Aku tak hendak

menjadikan seorang perempuan pasangan

kalau mengelak

tak terlalu mau, aku

aku seperti biasa saja

Binatang jalang mengembara di hutan belantara

bulan, matahari, bintang akan datang tanpa yang lain

aku seperti biasa saja

Tuhan, menciptakan semua berpasangan

aku kini bahagia

seperti biasa saja

tak memaksa

17 September 05

Ini Satu Puisi

Kalut dengan berbagai metode

lantak menyuguhkan kata sekehendak

tukang obat menjajakan obat

meruat hakikat satu kata

merangkai sebuah kalimat

menyusun paragraph, penat

harus bagaimana berbuat?

17 September 05

Riak Tak Berkesudahan

Air riak tak berhulu

Dari manapun ia berada, tak berkesiapan

Mengalir kemanapun di tempat persinggahan

Lurus, tak tengok kiri-kanan

Menatap, tanpa ada ketinggalan

Maju, tiada mundur untuk enggan

Melaju, melesat, melompat

Memetik bintang

Tempatkan dalam batu nisan

Kerlip cahayanya selalu terang

18 September 05

KHIANAT

Mendulang cuka dari seorang sahabat

Kadang bisa guyah bersama

Kadang menelan mangsa

Dimanakah rasa saling percaya

Bila senggama semesta berbohong pula, dusta

Kepada siapa bertanya

Mengadu peri terpendam

Ngilu seperti disayat sembilu

Luruh dalam dendam

Pusat pusaran kebijaksanaan

19 September 05

Tak Perlu Bicara

Tak perlu berbicara hanya duduk saja

Mendengarkan…saja

Tak bermakna

Riak kata

Tak selalu bermuara bijaksana

Alur jumawa

Tak membawa apa-apa

Terkekeh malu

Mendengar kau bicara

Tak perlu bicara

Bisu, kebenaran adalah segalanya. Aku berjalan dengan pemahaman, tak perlu ku bicarakan apa kehendak, pastinya kau mengelak, sebab sudah memiliki pemahaman

Bebicara

cara

berkata

tak

harus

bersuara

kau akan tahu apa yang kumau namun sejenak saja kuminta dendangkan sebuah lagu sendu untuk mendamaikan gardu. Gardu membawa batu

23 September 05

HANCURKAN PULAU

Waktunya masih panjang

Tapi sengaja ia potong

tak kukenakan gaun malam, siang ini

bimbang

seruak dalam dada

kegelisahan dan keresahan

ombak menderu di tepi pantai

kisruh pasir putih tengah hari

delik mata anjing, menggonggong

sedan lagu merdu burung, berkicau

hancurkan pasir putih sekarang

tanpa menoleh ke belakang

hancurkan pulau

24 September 05

Buku

Aku membaca

Berbagai rentetan aksara

Aksara bersatu padu berderet menyusun nada

berkelindan, berembuk berubah menjadi jiwa raga

Keutuhan terbesar aksara adalah tindakan nyata

Hanya seonggok jasad tak akan mengerti bagaimana

Siapa

apa

Tanpa ada pemahaman, pendalaman terhadap kebuntuan aksara

Dogma, buta, paradigma semua ada padanya

24 September 05

BERPISAH

Reguk teguk

Guyah bersama

Berkelindan

Bersatu padu

Seikat

24 September 05

BEBAS

Akulah yang kelu

Beku

Membatu

Diam kata dalam seribu

Padahal aku tak mau tahu

Yang kuinginkan adalah yang kulakukan

Tiada kepenjaraan manusia di dunia

Selain persepsi lain diri

Jadilah merdeka

Melenggang sanasini

Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu

Wanita, aku tak mau tahu apa yang kau sangka

Yang jelas

Aku merdeka…!

Bebas

24 September 05

Perjalanan Disela Kosong

Kutembus rona di bibirmu

Tak dinyana manis sekali

Tak ada apaapa disana hanya segumpal hati

Terbawakan gila

Apa pula kusebutkan hal ini, padahal tak ada artinya

Padahal tak ada artinya

Tiada bermakna

Kelihatan mana ada perempuan di dadanya

kata adalah mantra, mistis, membius jiwa

sampai ke sumsum darah

kata bertenaga revolusi, nonjok segala kebisuan

merombak seluruh keformalan

hancur, lebur, luluh, lantakkan semua binasa

berambisi dengan berkuasa

hegemoni ungkap Gramsci

Kuraba dada diriku kupelajari seluruh makna dalam jiwa

Ngecup lutut tak bertambah

pening kepala terus gundah

perjalanan di sela kekosongan,

benar-benar kosong yang tak bermakna

25 September 05

A + a

Tak ada apa-apa

siapa

dimana

hanya

saja

bagaimana

nyana

sangka

dusta

luka

apa luka akan berdusta

untung kata tak berdusta mengenai luka

luka menghilangkan cinta

hapus saja

25 September 05

Tujuh kali bilang cinta

Jangan kau tolak aku

Seperti dulu.

Terima saja…!

25 September 05

TERASING

Zaman telah merenggutku

Mencabik, mengoyak dan mencuci paksa aku

Melempar dan mendamparkan aku di saujanamana

tak tahu

terhening dan terasing

berlari dalam hutan belantara

hanya tumbuhan liar dan semak belukar

terpengkur aku

bayangan masa silam memburu terus menghantu

kilatan masa depan terkekeh sementara samar

di depanku cerulit di belakang gobang

….

Bingung

06 oktober 05

MALAS

Tak mau beranjak bangun

Kepala pening sejenak tertegun

Tergeletak di kasur sendirian

Memecah kesunyian

Mencari satu persembahan

Cahaya matahari panas

Menusuk, melingkar menembus ke belakang punggung

tak urung

akan bangkit di atas kasur

menyelusuri arti makna diri

mencari semangat yang baru lagi

07 oktober 05

POJOK BUMI

Terhuyung

terpelanting

terhumbalang

tersungkur

di sudut

aku berdiri

lagi

tertatih melawan angin

kuseka keringat dingin

di dahi

ah…

lesu

letih

lelah

lemas

tak berdaya

tergeletak

jauh berjarak

angin bantulah aku, endap pikiran dan rasa

dimana aku bisa melanjutkan studi kehidupan

air liur semakin pahit menjalar keseluruh tubuh

dan ruh

untungnya tidak!!!

Sakit, sisa hari kemarin kubawa lagi hari ini

Mual, sisa hari kemarin kucoba hilangkan lagi

Pedih, peri

Bidadari tolong selamatkan diri ini

Dari kehampaan jeruji kehinaan

Terhuyung

terpelanting

tersingkir

tersungkur

terpengkur

di pojok

bumi

08 oktober 05

Siang Hari

(untuk para birokrat)

Panas

Keringat

Menyembul keluar dari sela-sela rambut

Mengalir melewati pipi ke bawah terus

merenggut

siang hari

(orang sepakat dari jam dua belas sampai jam setengah empat)

para pengemis mencaci maki, setiap saat

para birokrat rapat untuk kesengsaraan rakyat

di atas jerit tangis mereka berdiri

jas dari darah TKI

para birokrat

keparat.

08 oktober 05

DIANTARA DUA EKSTRIM

Perutku mual

Seperti dipelirit; air kelapa menjadi hampas, diperas

Putih. Pucat pasi tak berbekas

Nyeri. Tak terperi; ini sakit kata orang karena kopi

Adalah sebuah kesesatan biologis

Menjerit. Bibirku nyinyir meringis

Aduh…! Tolong sakit sekali!!

Sementara kepala terus dijejali kata

Supper mall yang ramai dikunjungi pengunjung

berbelanja

bergiat dalam keseharian

sebenarnya apa yang dicari?

Tolong kau putar kembali hingga kini;

Apa yang kau dapatkan?

Perutku mual

kepalaku mutar

08 oktober 05

MUIR

Ta,

ta,

ta,

ta, kalut

ta, lut but

ta, lut but

ta, ka ka

ta, lut but

ta, lut, kalang kabut

ta, takut lang but

kata kut lang ka

ta ta ka lang

kut kut lang

kut

09 oktober 05

TAK MAU BERGERAK

Silakan mau berkata

tak mau mendengar

Silakan mau berucap

tak mau mengecap

pergi saja…!

silakan mau berbicara

tak mau menghirau

silakan mau menafsir

tak mau menggubris

enyah saja…!

Gunung meletus, ombak menyeruak

angin puyuh berhumbalang, bumi retak

langit runtuh, manusia jatuh

silakan saja

aku diam

09 oktober 05

Chairil Anwar

-dari sajak Monginsidi, Subagio Sastrowardoyo-

aku adalah dia

yang kusebutkan di muka

dengan dada dan mata merah

dengan semangat membara

aku akan dia

yang kupagutkan dalam pikir dan rasa

dengan pena menghunus musuh di depan

sebuah penyatuan kehidupan

aku menjadi dia

aku bersungguh-sungguh; tak berdusta

hidupku adalah hidupnya

dibangun dari sumsum dan darah

dari kepala

mendidih terlihat di mata

aku benar dia

benar-benar dia

yang meninju para keparat jepang

sehingga berkata:

“ayo…siapa yang akan lebih dahulu menyerah kalah pada kebinatangan ini”

aku terbentuk-nya pada dia

tangan mengepal

tak takut; gentar!

Semua orang melihat pada-nya[ku]

Aku adalah dia

Semangatku adalah semangatnya

Akulah dia

Yang berkata: merdeka!…

di tengah manusia kelu

untuk berkata

yang menulis : bung ayo bung !

dalam pamflet kemerdekaan

jadilah dia

akulah dia

09 oktober 05

Seorang Tokoh

(mengenai dali)

lucu. Seorang teman mengaklamasikan diri

tak ada yang salah, karena dia menyukai

entar…disambung lagi.

Neon Warisman

09 oktober 05

KATA I

belukar aku bersembunyi di pohon kalimat

menyaksikan. Selamat

pembunuhan, perampokan, pemerkosaan karena kata

aku percaya dengan sumsum dan darah kepada Tuhan

karena kata

aku mengasihi kepada seorang perempuan

karena kata

aku perjuangkan seumur hidup untuk kebahagiaan

karena kata

huruf melibas dalam kalimat meruntut menyusun

sebuah kata

09 oktober 05

Ta-Kata

tik tak

tak tik

tok tik

tak tuk

tuk tak

tek tok

tataberkatakatakatatakatakertaraharjatatanantuntunantatkayatanmalakapadahalsiapadia

09 oktober 05

TIBA

tak kuasa

tiba pada waktunya

jam empat lebih empat puluh tiga empat

memakai renda berwarna jingga

tak boleh telat, sedetik

aku menunggu disini selalu.

09 oktober 05

Rindu Terpotong

ternyata aku masih rindu

seperti dulu

sedari dulu

meski sembilu

menyayat pilu

tergerus oleh waktu

tetap dan terus

menunggu

kamu

27 oktober 2005

Ah…ke-Kalah-an

aku kibarkan panji eksistensi

mengubur seluruh rindu di sanubari

kunyatakan perang dengan tatapan matamu

kualunkan genderang badai di depan senyummu

ku atur siasat paling jitu untuk berkilah darimu

ku…aku persiapkan segalanya untuk merobohkanmu

namun, pada suatu pagi

ingatan berbisik tak terasa

memberikan pesan

wajahmu

senyummu

polahmu

kikukmu

matamu

serentak aku bertanya

hei kemana strategiku, pudar !

hei dimana genderangku, sumbar!

Hei kapan perangku, jangar!

Kau benar

Aku masih rindu

27 oktober 05

Siapa

siapa yang akan menjadi pendampingku

menurunkan keturunan

siapa yang akan menenangkan keresahanku

mencoba menghibur di saat duka

siapa yang akan menemani malam panjangku

menyelimuti angin yang kian dingin

siapa yang akan melestarikan fahamku

merajut mimpi bersama

siapa yang akan meneruskan ini

ketika hati mati

siapa siapa

siapa siapa

siapa siapa

SIAPA

Padahal

Kenapa kau khianati janji

Padahal kau lihat aku setia

Padahal…

Mestinya aku tak mencintai

1 November 05

KATA II

kata tak berkata-kata

kata tak bersuara

kata tak berbicara

kata tak berujar

kata tak berungkap

kata hanya diam

kata tak berani membunuh

kata tak bakal memperkosa

kata tak ingin mengkhianati

kata tak mau berbohong

kata tak akan mencekik

kata hanya diam

kata tak berkata-kata

kata siapa

katakana dimana

kata mengapa

kata bertahta diatas kepala

melakukan tindakan nyata

kata bermahkota pada bijaksana

yang

tak akan mandi, makan kemudian pergi setelah

kenyang

kata bukan kata-kata sembarang

kata mampu menembus cakrawala, mengoyak jiwa

raga sang membaca

kata membawa misi-misi seorang pencerita meresap tanpa tersadari

kata menguak kebohongan menjadi kebenaran

kebenaran lenyap muncul dusta

begitu seterusnya

coba simak

siapa yang berani membunuh dengan kata

siapa yang berani memperkosa dengan kata

kata

takut

sikut

mengkerut

larut

dari

mulut

muncul

penakut

datang

pengecut

pergi

ke sudut

bertingkah

seenak perut

2 November 05

Kenangan Di Jalan

waktu itu ia naik delman

haori; seorang perempuan

aku berjalan menyusuri sisi

bersama teman

ketika tatapan mata kami menyatu

layaknya suraloka berada di depan mata

seketubuh dalam seluruh

dia lemparkan senyuman

sembari lambaikan tangan

berseri senyuman

kujawab dengan senyuman simpul

sebab kumalu;

miliknya bersama-ku

tapi aku bahagia mengenai

pertemuan itu mengenai

senyuman itu mengenai

lambaian tangan itu

perihal kenangan itu

2 November 05

Maaf

kugoreskan pena

hendak merubah maaf dalam kata

membalut makna

kuambil langkah pikiran

hendak merubah maaf menjadi tindakan

menngharap kebahagiaan

kucetuskan cerita

hendak mengganti dengan sebuah deretan episode

menjumput hikmah

maaf

terbersit menyeruak dalam benak

kesalahan sempat dilakukan

kekisruhan termakarkan

tindakan menjadi setan

deretan kalimat menjelma malaikat

maaf aku dulu membuatmu luka

mengganggu sayatan menjadi ternganga

lebih besar

kaupun jadi gusar

maafkan

2 November 05

Sakti Pena

menulis adalah perjuangan

antara menguatkan kebahagian

meredam kepedihan

menggabungkan kata-kata, berubah jadi kalimatm meruntun sebuah paragraph tercipta sebuah prosa

sajak

puisi

cerita

roman

aporisma

atau apa saja

dengan sebuah cerita derita menjadi tertanggungkan

menulis adalah kehidupan

tinta air lautan

pena hutan belantara

sementara

garispanjang titian hidup; kita

kertasnya

mengabadikan usaha rakyat jelata

tidak kaya raya

menjadi pahlawan

panutan

pedoman

pelajaran

menggerakkan tangan menuntut dapatkan

makna

2 November 05

Seperti Biasa

matahari terbit dari barat tenggelam di sebelah timur setiap manusia per se menghirup udara

kepala sekolah pergi ke kantor

ada kejahatan terjadi di belahan dunia

perampokan, pembunuhan, pembegalan, pembunuhan, pekerjaan kotor…!

Manusia makan ketika lapar

minum ketika haus

umat manusia ada mati kelaparan

ada bahagia mendapat tunjangan

ada menangis

bersedih

meringis

bersuka ria

semua kejadian seperti biasa

bulan, bintang, matahari berputar pada porosnya

pagi diganti siang

siang ditelan petang

petang ditendang

malam bertandang

pagi datang

tak ada yang beda hanya setiap makhluk bertambah usia satu hari

makin akrab dengan mati

4 November 05

Khayalan

menunggu bidadari

menanti peri

…selalu dinanti

setia membuka mata di pagi hari

meski kawah panas ada di sanubari

datang dengan jentik jari jemari, membahagiakan

datang dengan tatapan mata, menghangatkan

tutur kata lembut pengharapan

menanti datangnya pernikahan

untuk mengisi kekosongan jiwa hampa

tiada terperi bukan iri

selalukah harus dinanti

kapan datangnya wahai kau peri, bidadari, putrid, haori

oh tak pasti

tapi kau kan datang padaku

selayu bunga tanpa tetesan air

sebusuk batu nisan tak pernah dibersihkan

bidadari datanglah padaku

kau selalu dinanti

6 November 05

Singgap

dimana hidupku

disini kosong

disana kosong

diam tak selalu

bicara mengganggu

dimana tempatku

6 November 05

Lepaskan Saja

sudah lepaskan saja bunga itu

biarkan ia mekar digenggaman orang lain

sudah relakan saja kembang itu

biarkan ia merekah di taman orang lain

sudah biarkan saja

sudah biarkan saja

tak perlu meneteskan air mata karena kepergiannya

ia tak mungkin kaumiliki

kalaupun bisa bagaimana pula kau memperlakukannya

hentikan saja siraman bunga itu

coba, sedari dulu kau sadar

8 November 05

Entahlah

dunia dihiasi tradisi

ada harapan, ada ketakutan

doktrinasi

menjejal sampai mati

kau tak bisa elak; hanya ikuti

kau tak bisa berkelit; tak usah tangisi

genggam erat kebijaksanaan dalam kepala

lakukan cermat kebahagiaan dalam kakikata

8 November 05

Segan

segan tak mau mendekat likaliku semburat

terjawab sudah; rembulan menjaga pagi

mencuri eksistensi matahari

derivasi cahaya menuntun

jemarijemari

rakit rakit berhaluan di atas gelombang pasang

nelayan lepas tandas menantang

berjuang untuk perang melesat kedepan

jangan tak pulang

27 November 05

Mencari Jodoh

aku pergi ke taman penuh bidadari

berjejer duduk rapi

bergaun anggun tak bersayap

adalah hinggap dalam hati

adakah seorang bidadari kunikahi

kutengok ke sekeliling

semua pergi

27 November 05

SAAT OMONG TAK KOSONG

AKU BERBICARA DENGAN WAKTU

DISUMPAHI LANGIT

AKU BERKATA DENGAN LAKU

DISAKSIKAN BUMI

1 DESEMBER 05

Saat Aku

aku tak menjadi aku

saat aku mengaku-ngaku

kau terpaku melihatku

kelu seribu diserbu

pertanyaan sembilu

memutar waktu

sana kemari

kian tak terus

1 desember

Anjing…!

Anjing benar kau adanya

Ku berteriak tak menghirau

Anjing benar kau adanya

Ku berkata dijawab ucapan sengau

Anjing…!

Anjing…!

Kotoran sampah, tulang belulang adalah nafasmu

Borok, liur, ludah, lidah menjulur

Anjing benar kau adanya

Gongmenggonggongdalamtong

Sumpah, anjing benar kau adanya.

2 desember 05

Maki

Wajah, hati ini milik siapa

Berkencan dengan siapa khianat saja

Hati mengecup dahi

Maki saja dengan kata ilahi

Angkat kaki saja dari sini

Tak terpuji

Berjalanjalan jalan lurus memandang kedepan

Tantangan halangan rintangan…

Dekat setan menyapa

Oh… ini siapa

Tak ada yang rugi, mau kemana

Tak perlu ucap cecah jiwa

Dasar bangsat!

Nada penghidupan, kertas ceruk rasa

Menggelar sajdah terhampar

Semua orang terlempar terkapar

Tak bernyawa

Ini hati milik siapa?

Miliksiapa?

Kecut nyawa…

Terkabur tak berperasa

Ini hati milik siapa

Milik siapa

Milik siapa

Jangan berucap aneh

Sepi dalam keramaian

Pengantin tak berpenghuluan

Berpelukan

Reguk caci jiwa dan nyawa

2 desember 05

Panggilan

nada jiwa menyeru

tak kuasa ‘tak menghirau

memanggilmanggil membentot kesadaran tujuan

mengingatkan siapa aku di bumi

mengernyitkan dahi menanti ilham

datanglah oii…!

kuputar narik kendali

kuikatkan tali temali

jarijemari bisu. Tuli

tak berkata

bicara

bersuara

datang tiba-tiba menghenyak, menghentak

aku diam terpaku,tersentak

mataku nyalang tidak picing

badanku gemetar. Rambutku terurai

kepalaku pening. Terpelanting. Bingung

ini malam siapa punya

wajah berdarah oleh siapa luka

ambil saja cemeti. Rusakkan gada

mari menari

menuju suraloka

2 desember 05

Heran

Tak biasa

Tak bercengkrama

Kau pulang, begitu saja

2 desember 05

Pemandangan

kulemparkan pandang di sebalik jendela

terhampar pemandangan pohon hijau di pagi hari

tiap pasti besok datang lagi

mengingatkan kemusnahan datang menerpa

menguatkan kehidupan tidak abadi

siklus tak terhenti sampai disini

cecah mencakmencak ketika bicara

nanti di siang hari

apakah siang akan ada pemandangan lagi?

2 desember 05

Buat Hendra

kenapa sih kau bulat

berbicara mata selalu tertutup

kaki bergerak jempol tertarik ke atas

kenapa sih kau bulat ?

apakah perut borobudur bertempat

kenapa sih kau bulat

kenapa sih kau bulat

bulat

2 desember 05

Bulat

bul at

bul at

bul at

bul at

bul at

bul at

bul at

bul at

bul at

2 desember 05

Tegang

menghentakkan kaki. Memerah mata

meneriakan suara meski terbatabata

“binatang kau adanya”

mata terbelalak, sebilah pisau ia angkat

ditancapkan ketubuhnya, matanya

darah membuncah. Tapi ia tertawa,…menangis

dan

mati

2 desember 05

Isteri

“jadilah pendamping hidupku”

“jangan pergi sendiri”

pintu terpelanting

nyelonong keluar dan berkata

“bayar dulu sisa kemarin”

“dasar pelacur…!”

Saat Omong Terus Kosong

bohong

melompong

bersuara tak terdengar kata

menulis dimana tulisan, tiada

melukis tanpa kanvas, cat, pena, penghapus

melongo saja

menikah ; pengantin kabur, mahar tipis, penghulu ngutang

mengendara tanpa kendara, jalan kaki saja

2 desember 05

Tungkul

terkatup. Tertunduk

dzhh….zzzzhh

ngantuk

2 desember 05

Jengah-ku

-Sekedar penghantar-

Lembaran hari, titian detik, gerusan waktu tak tentu mendapatkan sesuatu, dengan kata tertanggungkanlah sebuah derita. Kata kata ini hanya mampu untuk berkata kata tanpa pretensi apa-apa. Mohon diterima dengan arif bijaksana karena berasal dari manusia yang hanya mampu melungu supaya tidak disebut dungu.

Penggalan rasa, kadang berisi kekakuan laku termanifestasi dalam rentetan kata.

Kupersembahkan ini padamu haori yang telah dirampas dari kekinianku. Kusuguhkan ini untuk secangkir kopi mocacino yang setia menemani merangkai kata; tersusun sebuah nada. Rasa pahit-mu membangkitkan inspirasi meski membuat sakit. Bagi keluarga, teman, sahabat, musuh, haori, aku yang lain.

Kupersembahkan ini untuk-Mu Semesta…!

N

a

h

-katadititiknol-

Te-Taufiq-Er