Senin, 07 April 2008

menyerang

Menyerang Rutinitas

1

Aku tak mau mengawali tulisan ini dengan sebuah definisi, kebiasaan yang sudah kujalani selama ini dalam menganalisa makna sebuah reklame.

Aku tak akan mengartikan rutinitas itu apa, mengapa bisa menjadi sebuah rutinitas, bagaimana prosesnya dan lain sebagainya. Aku bosan dengan cara itu; sebuah pelacakan epistemologis yang hanya membuat hayat menjadi mayat sekarat tak bisa menghayat.
Diriku kini telah jatuh dan tenggelam dalam waktu yang aku sendiri tak mengenali, sebuah waktu yang sangat abstrak dan semakin menjadi misteri. Aku meronta pengin keluar. Mungkin sungguh aku ingin keluar tapi sungguh tak bisa. Segalanya tampak samar, kabur dan seperti akan hancur. Batu karang itu. Tebing kepribadian itu. Bendungan transenden itu. Semuanya seakan telah lebur oleh serbuan pasukan praduga dan keraguan.
Aku ragu maka aku ada, begitu tutur Descartes. Tapi sungguh kalau aku meragukan segala sesuatu maka apa yang harus kuyakini, sebab aku tak bisa hidup dengan berpijak dengan keraguan. Mesti ada sesuatu yang kupercaya dengan pasti. Hidup dalam keraguan seperti mengambang di tengah lautan lepas tanpa batas. Apa yang bisa menjamin bahwa semangatku meragukan segala sesuatu juga adalah sebentuk keraguan. Tuhan yang jadi jaminan, begitu seterusnya Descartes memberikan jaminan. Tuhan? Ya Tuhan?!
Tuhan, pagi ini kompas kehidupanku mendadak boyak, tak lagi menunjukkan arah. Hanya satu yang masih bisa aku katakan: aku harus mulai menerjemahkan tetapi apa yang harus aku terjemahkan? Keadaanku sendiri, kondisi yang sudah mati?! Sebelum berarti? Keadaan yang dulu pernah sering aku alami yakni tak menginginkan apa-apa sebab sebuah hati terlampau berat untuk berkeingin satu keinginan saja.
Bagaimana terjebak dalam sebuah rutinitas? Dari pagi sampai malam kita mengerjakan itu-itu saja selama setahun, selama dua tahun.. selamanya. Apa yang mendorong orang menjauhkan diri dari rutinitas? Kebosanan. Kejenuhan. Tetapi bukankah ketika seseorang menjauhkan diri dari rutinitas dengan melakukan kegiatan yang baru, apakah ada jaminan bahwa kegiatan yang baru itu tidak akan menjadi rutinitas?
Seperti halnya seorang yang membunuh dan dibunuh keduanya masuk neraka. Dengan alasan bahwa orang yang dibunuh hanya sedang sial saja, kalau dia mendapat kesempatan keadaan akan menjadi terbalik, dia akan membunuhnya. Keduanya mempunyai motif yang sama yakni membunuh.
Seperti halnya dalam politik ketika sebuah kelompok mengkudeta sebuah kepempimpinan yang sah dengan tuduhan otoriter, totaliarianisme maka ketika kelompok itu berhasil menggulingkan, mereka akan menjadi otoriter, totaliarianisme yang baru. Tirani yang dilawan dengan tirani akan melahirkan sebuah tirani dengan gaya baru. Yang ditindas melawan penindas akan keluar menjadi penindas baru.
Aku tak bisa keluar dari jalan pikiran ini, kegiatan baru sebagai lawan dari rutinitas malah akan keluar menjadi rutinitas yang baru. Sampai sekarang aku masih meyakininya.
Paling tidak, aku harus mencari jalan keluar, untuk menjawab beberapa pertanyaan ini; apa yang membuat saya ingin keluar dari rutinitas? Apakah rutinitas begitu menyeramkan dan menyesakkan? Apa yang menjadikan kegiatan baru—yang pada awalnya sebagai denial dari rutinitas malah—menjadi menjadi antek tirani rutinitas yang baru?

2

Untuk jelajah pertama saya ingin menyitir ungkapan dari guru filsafat saya—yang mengatakan “kita harus serius jadi manusia”—tentang rutinitas, dia mengatakan :
“Rutinitas itu, kalaupun kita lakukan hari ini, sebenarnya berasal dari masa lalu atau untuk masa depan. Rutinitas adalah jebakan kebiasaan, karena kemarin begini maka besok juga begini, dan seterusnya. Di tengah rutinitas itu, tentu saja, kita jadi bagian dari kehendak bukan kita”.
Saya memang melihat nuansa kebencian dan resistensi yang mendalam terhadap rutinitas ini. Padahal saya bisa mengatakan bahwa apa yang kita lakukan selama ini tak lain adalah rutinitas; pada waktu malam kita tidur, sewaktu lapar kita makan, haus minum, mules kemudian buang air besar dan seterusnya.
Dalam hidup ini apa yang memungkinkan kita untuk mengelak dari rutinitas. Kita seolah tak bisa meminggirkan rutinitas. Sebab rutinitas sudah menjadi hidup itu sendiri, menyangkal rutinitas, berarti menyangkal diri kita dan itu artinya mati.
Lantas apa itu rutinitas sehingga begitu membahayakan hidup; apakah makan, minum dan kegiatan semacamnya dapat disebut rutinitas. Kalau iya, kita tak bisa lari dari rutinitas itu.
Pada satu hal saya sepakat dengan guru saya itu bahwa rutinitas menjadikan kita bukan dari kehendak kita, sebab rutinitas membius diri kita untuk melakukan ini dan itu tanpa bertanya untuk apa kita melakukan ini dan itu.
Dalam hal ini aku bisa memastikan bahwa makan, minum, tidur tidak termasuk dari definisi rutinitas. Makan tidak tergolong kepada rutinitas tetapi kebutuhan. Beda kebutuhan dengan rutinitas sekalipun kedua-duanya sama berbentuk tindakan. Kebutuhan tidak dapat dipenuhi selain dengan kebutuhan itu sendiri, misalnya kebutuhan makan. Kita tak dapat memenuhi kebutuhan makan dengan selain makan, tidur, berhubungan seks misalnya.
Bermain, berpikir, berhubungan seks atau tidur memang bisa menunda kebutuhan makan tetapi hanya untuk sementara. Pada saatnya nanti kebutuhan makan itu akan datang lagi dan menagih. Kita tak bisa membayar kebutuhan makan kecuali dengan makan. Alangkah benarnya ungkapan Ahmad Wahib bahwa makan adalah perkara yang harus segera dituntaskan. Kalau tidak segera dituntaskan maka ia akan mencari jalan untuk menuntaskannya. Sama seperti halnya dengan tidur, berhubungan seks, kentut, berak dan kebutuhan fisik lainnya.
Singkatnya kebutuhan fisik dalam dirinya sendiri (being it self) tidak dapat disebut dengan rutinitas. Lantas apa yang dimaksud dengan rutinitas?
Kalau kita mengenal pengistilahan esensi (substansi, isi) dan form (bentuk) maka yang dimaksud dengan rutinitas dapat disamakan dengan bentuk. Mari saya jelaskan dengan analogi seperti ini; makan adalah esensi yang substansinya adalah untuk menghilangkan rasa lapar.
Kenapa rasa lapar harus dihilangkan? Sebab untuk bertahan hidup kita mesti dalam keadaan tidak lapar, ketika kita kelaparan maka menurut perhitungan medis kita akan mati (meski sesungguhnya saya sendiri masih meragukan apakah kelaparan menyebabkan orang mati?).
Dalam kerangka esensi, makan hanya sebatas matter atau thing, terserah kita mau makan apa saja yang jelas bisa mengatasi rasa lapar. Ketika kita memutuskan untuk makan maka selanjutnya kita memikirkan makan apa (form).
Nah, manakala kita sudah memikirkan mau makan apa—apalagi sampai dimana—kita sudah sampai pada apa yang dinamakan dengan rutinitas. Lho? Ya. Sebab rutinitas adalah segala sesuatu hal yang berkaitan dengan form; semisal jenis, waktu dan tempat.
Untuk bangsa Indonesia, apakah rasa lapar bisa dihilangkan dengan makan roti? Jawabannya tentu bisa. Tetapi mengapa kebanyakan bangsa Indonesia belum bisa makan kalau belum makan nasi? Nasi dan roti adalah form oleh karena itu dinamakan dengan rutinitas, sedangkan mengenyangkan adalah esensi. Esensi ini bisa didapatkan dengan apa saja; roti, kacang, jagung dan lain sebagainya. Apakah makan manusia bisa mengenyangkan? Bisa!? Tapi? Kita ganti topik pembicaraan.
Rutinitas ini kadang berubah menjadi sebuah kepercayaan yang sangat dogmatis sehingga ketika orang belum melakukannya dianggap belum sempurna atau cacat bahkan dosa. Anggapan semacam inilah yang membuat rutinitas sedemikian menyeramkan. Karena rutinitas membuat hal yang sebenarnya irasional menjadi rasional.
Mengapa kita merasa belum makan padahal kita sudah makan roti? Jawabannya memang sangat tidak masuk akal, tetapi semua orang menerimanya.
Itulah yang dinamakan dengan rutinitas.

3

Lantas kenapa kita (harus) pengin keluar dari rutinitas? Menurut guru saya dalam rutinitas itu kita jadi bagian dari kehendak bukan kita. Otomatis kita dikendalikan oleh sesuatu yang bukan diri kita, lalu apa? Ya. Rutinitas itu sendiri.
Mengapa bisa? Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia, begitu kata peribahasa Italia. Pada mulanya kita memperbaharui cara kerja dengan mesin kemudian mengambil cara kerja mesin sebagai model hidup.
Begitu juga dengan rutinitas, pada mulanya kita menggunakan rutinitas sebagai alat untuk membantu kita mempertahankan hidup, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita mengatur tindakan-tindakan kita, menjadwal segala tindakan yang akan kita lakukan; sekarang ini, besok itu dan lain sebagainya
Pada tahap ini rutinitas menghamba pada diri kita sebab kita yang mengendalikannya tapi lambat laun rutinitas berbaling menyerang diri kita. Penyerangan rutinitas ini dilakukan tanpa sadar sebab kita sendiri yang menyerang diri kita. Tindakan dan kebiasaan yang kita jadwalkan dan lakukan sehari-hari berubah menjadi sebuah sistem yang lamat-lamat menggerogoti diri kita sendiri.
Seperti lalat yang—diceritakan dalam novelnya Matthew Pearl, The Dante Club—mengerenyam jasad manusia. Pada mulanya memang tidak terjadi apa-apa tetapi lama kelamaan lalat itu menjadikan tubuh kita sebagai sarang untuk bertelur dan menimbulkan kebusukan sehingga ulat-ulat kemudian datang dan begitulah cara kita mati. Alangkah benarnya bahwa lebih baik kita mati sekali tembak daripada mati perlahan dengan menahan radang kesakitan.
Segala kemauan yang memang murni berasal dari diri kita sendiri menjadi boomerang yang berbalik menyerang diri kita sendiri. Rutinitas yang pada mulanya adalah bentukan kita sendiri untuk mencapai tujuan tertentu kini telah memiliki tujuannya sendiri yakni menjalankan diri kita dalam jebakan dan jejaring ulat busuk rutinitas tanpa henti.
Sekali lagi mengapa mesti dilawan? Sebab lambat laun kita sudah berubah menjadi mesin bukan pengatur mesin, sebab lamat-lamat tubuh kita akan busuk dan dengan cara membusuk itulah kita akan mati. Sungguh kita akan menjadi bangkai sebelum menjadi mati, seperti mayat hidup!
Pasti ada sebabnya kenapa rutinitas menjalin relasi antagonis dengan diri kita bukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan sitir kan sebuah sajak klasik dari Rendra kesadaran adalah matahari. Ya. Kesadaran layaknya sebuah matahari yang sanggup menyinari seluruh makhluk di bumi ini sepanjang ribuan abad lamanya.
Karena secara tidak sadar kita telah membuatnya demikian, kita sendiri yang telah membentuk monster itu sedemikian rupa. Relasi rutinitas dengan kita ini tak ubahnya seperti yang dikabarkan oleh cerita novel Frankenstein. Bagaimana cara untuk melawannya. Lawanlah diri sendiri! Dalam ungkapan yang lebih sufistik kenalilah dirimu sendiri sebab barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal tuhannya.
Memang dengan rutinitas kita berubah menjadi bukan diri kita melainkan sebuah sekrup yang melengkapi jalannya mesin besar yang bernama rutinitas. Salah satu cara untuk mengenali diri sendiri adalah dengan berefleksi. Dalam rutinitas kita jarang menemukan ruang untuk berefleksi karena semuanya telah diatur sedemikian rupa untuk mencapai tujuan hidup tertentu. Dalam istilah strategi organisasi ada yang dikenal dengan sebutan evaluasi dalam bahasa yang lebih agamis muhasabah, introspeksi.
Dengan merefleksi kita menyerang rutinitas sekaligus menyerang diri kita sendiri. Itulah mengapa banyak orang jarang melakukan refleksi, sebab manakala merefleksi dia menemukan pelbagai kebusukan dan kebejatan yang tertanam dirinya sendiri. Dia tidak mau mengakuinya kemudian menyangkalnya akhirnya menjadi orang lain. Menjadi bukan dirinya sendiri.
Kuingatkan benar apa yang dikatakan padi dalam lirik lagunya sang penghibur;
bahwa hidup adalah perhentian,
tak harus kencang terus berlari…

4

Akhirnya, dengan ziarah benak ini kita menyadari bahwa yang membuat rutinitas sedemikian menyeramkan itu tak lain adalah diri kita sendiri. Dengan formula ini sesungguhnya ketakutan akan munculnya rutinitas baru setelah serangan akan rutinitas lama (seharusnya) musnah sudah namun sejujurnya dalam pikiran saya masih meragukannya. Benarkah formula ini dapat lebih membuat kita menjadi manusia?
Ketakutan yang pada gilirannya menjadi sebuah keraguan ini dikarenakan tak ada jaminan bahwa kita akan terus “sadar”. Adakalanya kita tidak sadar akan diri kita sendiri apalagi dengan rutinitas yang “berada di luar diri kita”. Mungkin tema ini akan menjadi topik baru dan judul baru, untuk sekarang sampai disini serangan terhadap rutinitas. Berakhir. Wallahu ‘alam bil qolam.

Rabu, 20 Februari 2008

sang penghibur

“Sang Penghibur” Menggempur Dunia yang Kabur

aku bukanlah seorang yang mengerti..
tentang kelihaian membaca hati,

Kutipan lirik lagu diatas nampaknya hendak menegaskan bahwa filosofi tanaman padi—semakin berisi semakin merunduk yang menjadi inspirasi nama grup bandnya sekaligus dijadikan prinsip hidup kelompok musik Padi—tetap dipegang teguh.
Grup band asal Surabaya yang didirikan 8 April 1997 ini diawaki oleh Satriyo Yudi Wahono alias Piyu (gitar), Andi Fadly Arifuddin (vokal), Ari Tri Sosianto (gitar), Rindra Risyanto Noor (bas), dan Surendro Prasetiyo alias Yoyok (drum). Kini semakin berisi dalam bermusik dan merunduk dalam berlirik yang pada album terbarunya—bertajuk Tak Hanya Diam—begitu kental terasa tema sosial dan nilai-nilai universal, tidak hanya bercerita tentang hubungan cinta pria dan wanita.
Dengan lagunya Sang Penghibur—yang menjadi hits single—Padi seolah ingin memberikan sebentuk interupsi terhadap waktu yakni menggugat kecepatan. Tak sadarkah bahwa kini ritme hidup kita begitu cepat?
Dalam segala aspek kehidupan kita mengidolakan kecepatan; mencuci baju ada mesin pencuci, mendapatkan atau menyampaikan informasi ada internet, menyapu ada penyedot debu, makan ada makanan cepat saji sampai aktivitas-aktivitas yang paling intim (seks) pun kita menginginkan cepat. Bahkan karena saking cepatnya kita tak pernah sadar bahwa sebenarnya kita sedang bergerak dengan cepat dan menginginkannya lebih cepat lagi.
Saat ini, ungkap Carl Honorê penulis buku In Praise Of Slow, seluruh dunia mengalami mengalami time-sickness (mabuk-waktu). Hari ini kita semua tunduk pada kultus kecepatan. Kita selalu dalam keadaan tergesa-gesa.
Pada tahun-tahun awal abad ke 21 ini, segala sesuatu dan semua orang berada dalam tekanan untuk bergerak lebih cepat. Di zaman serba sibuk dan penuh ingar bingar ini segala sesuatu berpacu melawan waktu, tutur Guy Claxton seorang psikolog asal Inggris, akselerasi kini telah menjadi sifat dasar kedua dari manusia. Kita telah mengembangkan suatu psikologi tentang kecepatan, penghematan waktu dan pemaksimalan efisiensi yang semakin menguat dari waktu ke waktu.
Obsesi modern terhadap kecepatan waktu telah melampaui segala hal dan menyebabkan semua orang merasa bahwa penundaan beberapa menit saja dapat menghancurkan seluruh hadapan untuk hidup.
Program diet gagal? Cobalah sedot lemak. Terlalu sibuk memasak? Beli saja microwave. Ketinggalan informasi, dapatkan koneksi dengan internet. Semua orang sibuk dengan koran di tangan, bermain video game, mendengarkan musik dari Mp3, bekerja dengan laptop, mengatur jadwal dengan PDA atau asyik ber-“ha-hai” dengan Hp.
Budaya kita yang berkembang dibawah telunjuk modernisasi dan ketiak peradaban industrialisasi mula-mula memperbaharui cara kerja dengan mesin kemudian mengambil cara kerja mesin sebagai model hidup. Kita tengah diperbudak oleh kecepatan dan semuanya telah mengalah kepada virus busuk—yang sama yakni hidup dengan cepat—dan lamat-lamat merembes hingga wilayah kehidupan pribadi dan memaksa mengonsumsi makanan cepat saji. Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia, begitulah kata peribahasa Italia.

bukankah hidup adalah perhentian…
tak harus kencang terus berlari,

Mengapa kita selalu tergesa-gesa? Mungkinkah atau bolehkah memperlambat ritme kehidupan?
Kecepatan tidak selamanya merupakan kebijakan terbaik, kata Carl Honorê. Hukum evolusi bekerja menurut prinsip survival for the fittest bukan survival for the fastest. Memang benar, kecepatan telah terbukti membantu kita memperbaiki dunia ini hingga mencapai taraf yang mengagumkan dan membebaskan. Kita tidak bisa menyangkal kebebasan yang diberikan oleh internet dan kecepatan yang diberikan pesawat jet.
Namun persoalannya adalah kecintaan kita terhadap kecepatan dan obsesi untuk melakukan segala hal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sudah keterlaluan. Kecintaan dan obsesi itu sudah berubah menjadi candu (addiction) atau malah telah menjadi berhala. Bahkan sekarang kecepatan mulai berbalik memangsa kita ketika kita mulai lupa bagaimana memperlambat gerak. Ketika kita mulai lupa bagaimana menulis dengan pensil karena terlampau sering menulis dengan komputer. Inilah salah satu dampak dari kultus kecepatan yakni dehumanisasi.
Rumah sakit dipenuhi orang-orang yang menderita sakit akibat stress, frustasi, gelisah, gemetaran dan sênewên karena tidak tepat waktu (John Girdner menyebutnya dengan istilah newyorkitis), gangguan pencernaan, sulit tidur, migrain, tekanan darah tinggi, asma dan lainnya. Budaya kerja menjadi budaya “kejar” yang akhirnya merusak kesehatan mental.
Kehidupan yang tergesa-gesa dapat menjadikan dangkal dan banal, Milan Kundera menulis (1996) “ketika segala sesuatu terjadi dengan terlalu cepat, tidak ada lagi orang yang merasakan kepastian tentang apa pun. Tidak ada orang yang merasa pasti lagi, bahkan tentang dirinya sendiri. Segala sesuatu yang menyatu bersama kita dan membuat kehidupan bermakna—komunitas, keluarga, persahabatan—maju menyatu cepat dalam sesuatu yang tidak cukup bagi kita, yakni; waktu”
Depresi, insomnia dan pelbagai kerusakan lainnya akibat time-sickness, tak salah kalau Honorê menyebutnya dengan Abad Kemarahan. Kita menuju jalan yang penuh kemarahan, pasar yang dipenuhi omelan, jalanan yang disesaki caci maki, hubungan yang ditandai perseteruan, persahabatan yang dibumbui kedengkian dan romantika kekerasan lainnya.
Tak ada lagi tutur kata yang ramah dan santun. Kini kata-kata berubah menjadi kata-kata yang kotor penuh umpatan, hujatan, cacian, makian, kasar dan telenges. Dalam kondisi ini tepatlah apa yang digambarkan oleh Padi

setiap perkataan yang menjatuhkan
tak lagi kudengar dengan sungguh
juga tutur kata yang mencela
tak lagi kucerna dalam jiwa

Sudah hilang nilai-nilai budaya hormat ka saluhureun, nyaah ka sahandapeun, someah ka sasama, resep nulung kanu butuh, nalang kanu susah, silih asih, silih asah jeung silih asuh, hirup sauyunan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak. Masyarakat kita menjadi lebih resep maledog kanu gede, nalipak kanu leutik, aing-aingan, resep pasea jeung garelut.
Mabuk-kecepatan ini juga menjadi sebuah gejala dari rasa tidak tentram yang bersifat eksisntensial dan mendalam. Kita kehilangan selera untuk memperlambat ritme kehidupan dan hanya membiarkan diri dengan pikiran kita sendiri. Ketika tak ada yang dikerjakan (baca; nganggur atau nyantai) kita pun panik, bosan, gelisah dan akan berusaha mencari sesuatu, apa saja bisa memanfaatkan waktu.
Kebosanan merupakan temuan abad modern, kata Honorê. Masa hidup kita ini terobsesi oleh hasrat untuk melupakan dan untuk itulah kita dipaksa untuk “beriman” kepada setan kecepatan bahwa manusia ini sudah lelah dan muak terhadap dirinya sendiri.
Kenapa hal ini bisa terjadi?

bukankah ku pernah melihat bintang
senyum menghiasi sang malam
yang berkilau bagai permata
menghibur yang lelah jiwanya
yang sedih hatinya

Pada titik ini virus time-sickness telah menjalar pada pribadi yang menyebabkan penyakit eksistensial; kehampaan hidup, ketidakberartian. Orang-orang barat kemudian sibuk mempelajari yoga, kearifan-kearifan timur dan mengikuti kumpulan-kumpulan spritualis semacamnya.

kugerakkan langkah kaki dimana cinta akan bertumbuh
kulayangkan jauh mata memandang tuk melanjutkan mimpi yang terputus
masih kucoba mengejar rinduku
meski peluh membasahi tanah
lelah penat tak menghalangiku menemukan bahagia

Sebaliknya masyarakat kita malah sedang gandrung dengan antek-antek kerajaan setan kecepatan ini, kita mengagungkan efisiensi, efektivitas, gila kerja dan semacamnya—karena yakin bahwa kecepatan dan ketepatan adalah kebajikan moral yang membawa kesuksesan—untuk memburu kesenangan.
Seharusnya kita bisa berhenti sejenak dari segala perlombaan kesenangan ini, hanya sekedar untuk merefleksi; mengapa kita harus bekerja mati-matian?.

kuhelakan nafas panjang
tuk siap berlari kembali
melangkahkan kaki

Time-sickness yang membuat dunia (barat) menjadi kabur (melarikan diri) sesungguhnya tidak-lah keliru. Hanya saja dengan “rukun iman” waktu adalah uang akhirnya membentuk falsafah kebudayaan yang cenderung materialistik dan pragmatis. Dalam falsafah kebudayaan ini, materi dijadikan sebagai tujuan kebajikan puncak sedang dunia spiritual hanya dijadikan sebagai kedok untuk mengeruk keuntungan secara materi (dan kita di sini sedang menirunya).
Sesungguhnya serangan balasan terhadap ritme kecepatan bukan berarti anti-kecepatan melainkan melakukan hal dengan tenang, hati-hati, reseptif, tidak tergesa-gesa, reflektif, sabar dan kualitas diatas kuantitas. Melakukan dengan lambat berarti melakukan hubungan yang nyata dan berarti, dengan orang lain, dengan budaya, dengan pekerjaan, makanan dan segala sesuatu.
Dengan memaknai bahwa hidup adalah perhentian, kita memiliki surat izin untuk santai, untuk berpikir, untuk merefleksikan persoalan-persoalan eksistensial yang besar. Karena bergerak dengan cepat berarti bereaksi bukan berefleksi. Bisakah pertanyaan-pertanyaan—kenapa kita hidup? buat apa hidup ini? hendak kemanakah kita menuju dengan segala pencapaian peradaban ini—yang bersifat eksitensial dijawab dengan cepat. Maka sebenarnya melakukan segalanya dengan reflektif berarti berjalan

…menuju cahaya.

Hidup yang tidak ditanyakan tidak pantas untuk dijalankan, ungkap Socrates. Socrates hidup beberapa abad sebelum masehi, dia hidup jauh sebelum ditemukannya komputer sedangkan grup band Padi hidup di tengah hiruk pikuknya perkembangan teknologi. Grup band Padi memang bukan sekumpulan filsof—seperti halnya Socrates—tetapi mereka mencoba untuk berfilsafat lewat lagu-lagunya.
Sungguh ada benarnya perkataan Goethe bahwa apa yang terlihat konyol untuk diceritakan bisa dikatakan lewat lagu (dinyanyikan). Tabik Sang Penghibur!

Penulis adalah penggemar musik dan lirik,
anggota Madzhab Santai.

ini malam

Ini Malam Punya Siapa

ini malam punya siapa
asmara merindu pada satu ketika
malam dingin menyuguhkan angin

beserta raksukan sepi dan nyeri
asmara merindu saat bilamana
tubuh gontai lunglai tak bertepi

….

putus.

110606

Jumat, 09 November 2007

Aku ingin berbicara mengenai kekecewaan. Semua dari kita pasti pernah mendapatkan kekecewaan dari apapun, dari siapapun, kapanpun dan dimanapun juga. Hemat saya, terlalu sombong dan songong bagi orang yang tidak gegas mengakui bahwa dirinya kecewa dengan alasan pemahaman yang bijak (atau mungkin? sengaja dibijakkan!).

Sebijak-bijak apapun orang pasti mendapatkan kekecewaan atau ia sendiri mengecewakan orang lain. Saya ingin membicarakan dulu apa itu kekecewaan? Sifat kekecewaan memang sangat relatife karena ia selalu terkait dengan subjektivitas (entah itu dalam pemikiran maupun perasaan) seseorang, dengan ini bisa dikatakan bahwa kekecewaan bukan barang yang "objektiv". Kekecewaan adalah masalah pribadi.

Oleh karena itu kita akan mendapatkan ada orang yang merasa kecewa tetapi orang lain tidak padahal penyebab orang kecewa dengan penyebab orang yang tidak kecewa sama. Misalnya, kesebelasan persib kalah dalam pertandingan melawan persikota. Bagi saya hal itu biasa saja, tetapi mungkin bagi pelatih persib kekalahan itu adalah suatu musibah besar. Kenapa hal itu bisa terjadi? Untuk membahas lebih jauh saya ingin mengemukakan dulu arti kekecewaan secara bahasa.

Kecewa, menurut Kamus Besar Indonesia Badudu-Zain, berarti tak puas/tak senang karena sesuatu yang diharapkan tidak tercapai; kekecewaan adalah perasaan kecewa. Kembali kepada contoh yang saya ungkapkan diawal, mengenai pertandingan persib. Kenapa pelatih Persib kecewa melihat persib kalah. Pelatih merasa tak puas, tidak senang karena sesuatu yang di harapkan itu tidak tercapai, apa yang diharapkan pelatih? Kemenangan.

Karena sesuatu yang diharapkan, yaitu kemenangan, tidak tercapai maka ia kecewa. Lalu kenapa saya tidak kecewa? Karena saya tidak mengharapkan persib kalah dan juga tidak mengharapkan persib menang, singkatnya saya tidak berharap apa-apa ketika persib bertanding. Kenapa saya tidak mengharapkan apa-apa, sebab memang, persib menang atau tidak, nggak ada urusannya dengan saya, nggak ada hubungannya, nggak ada sangkut pautnya dengan kehidupan saya. Intinya nggak bakalan merubah jalan hidup saya. Sekali lagi, yang kecewa pada saat pertandingan persib, mungkin tidak hanya pelatih, tetapi pemain, bobotoh, kru, managemen dan banyak lagi lainnya.

Saya ingin memberi catatan kondisi apa saja orang bisa kecewa; a) ketika seseorang berharap, b) ketika ada kaitan dengan dirinya (relasi itu bisa sifatnya ekonomis, biologis, politis, histories atau kaitan lainnya lagi). Maka ketika kondisi seseorang telah "mengidap" dua prasyarat itu, siaplah dia akan merasa kecewa.

Prasyarat utama supaya orang merasa kecewa adalah harapan, sekalipun sesuatu itu ada kaitan, ada hubungan dengan dirinya namun dia tidak berharap pada sesuatu itu maka dimungkinkan dia tidak kecewa. Misalnya saya, terhadap pertandingan persib itu, kenapa saya tidak kecewa? Sebab saya tidak mengharapkan apa-apa dari pertandingan itu sekalipun secara rasio saya memiliki relasi dengan persib; dengan saya tinggal di bandung saya telah memiliki relasi dengan persib. Tetapi nyatanya saya tidak kecewa, sebab relasi yang saya bangun bukan relasi akrab yang dekat melainkan relasi yang telah terkondisikan.

Dian [sudah] Padam…?!?!

Katakanlah untuk membangun peradaban ada tiga jalan; keberpihakan kepada kemanusiaan, rasionalitas dan spiritualitas. Kemanusiaan akan diwujudkan lewat aksi, sikap serta tindakan yang berpihak kepada kemanusiaan, rasionalitas mesti terwujud lewat keilmuan dan tradisi intelegensia semisal; diskusi, menulis dan membaca, spiritualitas menjadi penting untuk menjadi pakem bagi rasionalitas yang terlampau melambung.

Untuk mewujudkan ketiga cita-cita tadi salah satunya dengan cara membuat ruang publik, public atmosphere. Dimana aspirasi kemanusiaan, rasionalitas dan spiritualitas dapat tersampaikan.

Ruang publik ini bisa berbentuk media massa seperti bulletin, jurnal, majalah, koran; media elektronik televisi, radio, ataupun hanya sebatas forum diskusi. Maka dari itu JEJAK adalah salah satu ruang publik yang sengaja dibuat oleh Hima-Himi Komisariat UIN SGD Bandung. Untuk memfasilitasi segala erang dan jeritan kemanusiaan, berbentuk tulisan yang penuh dengan argumentasi.

Tak ayal lagi dalam setiap penerbitannya, JEJAK selalu berpihak kepada kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh. Dengan jargon Menapak, Menerobos, Mengukir Sejarah dimaksudkan sebagai pelecut kepada setiap umat manusia, intelegensia khususnya, untuk mengukir sejarah dengan cara menapak dan menerobos segala aral rintang yang menghadang. Iqbal mengatakan jangan hidup menjadi beban sejarah saja. Secara singkat dan sarkas dapat disebutkan mending jangan hidup kalau mau jadi beban sejarah saja mah. Senada dengan Iqbal, Akhdiat mengatakan orang yang tidak merasa menjadi khalifatullah maka mendingan minggir …!

Begitulah, cita-cita peradaban akan tersampaikan manakala manusia mengerti dan paham akan keberADAanya di bumi ini. Kalau nggak nyadar … jangan harap! Mendasarkan kepada kesadaran ini pula lah JEJAK menapakan diri untuk mengukir sejarah.

Salah satu aspek yang sangat urgen dalam perdaban adalah rasionalitas. Terkait dengan hal ini, kita akan mendapatkan bukti historisnya. Ketika lembaran zaman modern dibuka dengan jargon aku berpikir maka aku ada. Maka berpikir, adalah kepanjangan tangan dari rasionalitas. Rasio adalah cahaya bagi zaman modern. Rasio adalah dian, dan dian adalah lentera yang akan membawa menerangi di saat kegelapan.

Selamat membaca, mari kita bangun peradaban …!

BE YOUR SELF…! NO MATTER WHAT THEY SAID.

-Kenalilah Dirimu Sendiri…!-

Aku ingin berbicara mengenai diriku sendiri. Karena kadang-kadang kita yang suka berbicara mengenai orang lain lupa akan dirinya. Aku juga tidak akan menggurui bagaimana caranya kita menjalani hidup karena, aku juga belum berpengalaman. Aku tidak akan membicarakan orang-orang yang sukanya curiga kepada temannya. Aku tidak akan membahas mengenai filsafat kehidupan. Aku hanya ingin merenungi diri sendiri. Aku yang tidak suka dikritik oleh orang lain sebab aku merasa benar dan selalu benar sementara orang lain adalah salah dan selalu salah. Aku ingin menang dan selalu menang sementara orang lain selalu kalah dan harus kalah. Sekali lagi aku ingin berbicara mengenai diriku sendiri. Kalau Coelho mengatakan bahwa kisah satu manusia adalah kisah seluruh manusia, maka mungkin kisahku adalah kisahmu juga.

Filsuf Yunani mengatakan kenalilah dirimu sendiri. Memangnya seberapa penting sih kita mengenali diri kita. Kalau dalam ajaran Islam ada sebuah hadits atau tepatnya pepatah yang sering digunakan oleh para sufi stigma itu adalah من عرف نفسه فقد عرف ربه. Barang siapa yang telah mengenali diri maka ia [berkesempatan lebih banyak untuk] mengenali Tuhan. Kalau kita kaitkan kepada kepentingan transenden memang begitu adanya. Salah satu jalan untuk mengenali Tuhan, kita kenali dulu diri kita sendiri.

Maka ketika aku mulai mengenali diriku sendiri. Aku sempat bingung karena mendapati labirin-labirin gelap kosong dan kerap kali membuat kita tersesat. Aku tak menemukan apa-apa. Apa yang harus aku gali dalam diriku ini. Tak ada apa-apa. Kalaupun yang dimaksudkan dengan mengenali diri adalah identitas maka kenapa harus repot tinggal merujuk aja ke akta kelahiran. Saya lahir di anu, bulan anu tanggal anu, anak anubla-bla-bla … dan selesai sudah. Apakah hanya itu. Dan ternyata bukan itu yang dimaksud.

Kemudian aku beranjak ke pertanyaan yang lebih mendasar bukan lagi merujuk ke akta kelahiran dan KTP. Aku mulai menanyakan kenapa aku lahir, kenapa aku ada di bumi ini. Maka aku mendapatkan kesan bahwa aku memang mesti ada di bumi ini, aku mesti lahir. Dan kadang kala ketika sudah buntu, aku mulai mencari kambing hitam … Tanyain atuh sama Tuhan kenapa melahirkanku. Aku juga nggak ingin lahir. Emangnya Tuhan … yang melahirkan. Aku nggak ambil pusing kenapa aku lahir… ah pokonamah aku lahir tanpa embel-embel pertanyaan. Dedlock!aku tak bisa menjawab kenapa aku lahir.

Tapi, ketika aku hentikan pertanyaan itu eh malah menjadi-jadi menusuk jantung limpaku. Maka mau tak mau aku mencari lagi alasan aku lahir. Masa aku harus menjawab, kenapa aku lahir, karena ibu dan bapak kita melakukan hubungan intim terus setelah itu lahirlah anak dan anak itu aku. Betapa tidak berartinya aku hidup ini. Hanya berasal dari nafsu manusia, maka tak salah kalau orang-orang sekarang ini memaksakan nafsunya karena arti kelahirannya hanya berawal dari nafsu dan beraksir dengan nafsu. Ah … Tuhan, Tuhan kenapa kau ciptakan aku? Apakah tak ada petunjuk untuk menjawab alasan keberADAanku di bumi ini?

Eureka…! Aku mulai mendapatkan jawabannya. Kenapa aku lahir? Karena Tuhan PERCAYA sama kita. Logikanya kaya gini, dalam al qur'an disebutkan bahwa tuhan akan menciptakan manusia dan menjadikannya khalifah di muka bumi ini. Khalifah itu artinya yang mengurus bumi ini, yang mengolah bumi ini. Nah, dalam al qur'an ternyata aku adalah khalifah. Dalam hadits dikatakan bahwa setiap dari kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Setelah itu, kita ternyata adalah khalifah yang diPERCAYA tuhan untuk mengurus bumi ini. Kita dipercaya untuk memimpin makhluk-makhluk lain. KITA ADA KARENA KITA DIPERCAYA.

Ditambah, dari sekian sperma yang berhasil lolos adalah kita. Kita adalah JUARA. Tetapi kenapa aku bukan yang lain? Karena kita dianugerahi akal, terus hawa nafsu. Malaikat 'kan nggak? Hewan nggak? Hanya kita! dalam al qur'an disebutkan bahwa kita ini adalah sesempurna bentuk. Bentuk kita ini adalah sempurna, tetapi aku juga yang menyadari, kita ini dalam bentuk yang sempurna tetap minder, kenapa ya?

Pertanyaan kita sudah terjawab. Kenapa kita ada karena kita dipercaya. Tinggal bagaimana kita bisa memegang kepercayaan itu. Kita seyogyanya merasa tersanjung karena mendapat kepercayaan dari tuhan. Sederhananya, bagaimana rasanya kalau kita mem(p)ercayai orang dan ternyata orang itu berkhianat. Sakit bukan? Pengen nonjok! Sekarang bayangkan tonjokkan tuhan itu kayak gimana. Kalau aku, jadi kepikiran bahwa musibah, bencana alam, krisis moneter, dan berbagai kemelut yang dialami oleh bangsa kita adalah TONJOKAN dari tuhan, sebenernya bukan tonjokkan tapi tapi hanya goderan. Tonjokkan itu nanti kiamat.

Pengenalan diri ini adalah sebuah urgensi yang mesti ada dalam setiap kurun hidup manusia untuk mencapai peradaban yang lebih beradab. Dalam kajian psikologis pengenalan dir ini dinamakan dengan konsep diri. Dalam konsep diri ini dibentuk bagaimana pandangan dunia, way of life, weltancshauung, seseorang dibangun. Pandangan dunia ini dibentuk dari bahan-bahan yang parsial kemudian diformulasikan menjadi bentuk konsep yang utuh dan idealnya membimbing, menjadi acuan dan formatan dalam bersikap.

Lantas bagaimana caranya membuat atau membentuk konsep diri ini, sejatinya pertanyaan ini menanyakan bagaimana pandangan dunia ini dibentuk. Sekarang kita bahas dulu mengenai pengetahuan dalam konteks Sosiologisnya. Sebab hal ini terkait erat dengan prosesi pengetahuan. Padangan dunia berasal dari bahan pengetahuan kita sehari hari atau common sense Namun celakanya, ditengah kehidupan bermasyarakat, banyak sumber pengetahuan yang bersifat taken for granted, misalnya konsep negara yang diajukan oleh Gramsci (lihat dalam Negara dan Kekuasaan). Sumber yang tanpa perlu diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas kehidupan ini.

Masyarakat dapat langsung begitu saja memakai pengetahuan taken for granted tersebut sebagai sebuah pandangan yang diyakini benar atau berguna untuk memahami dunia di mana manusia hidup. Jenis pengetahuan yang "tanpa perlu diolah lagi" tersebut tentu saja banyak dan tersebar, mulai dari sistem keyakinan, tradisi, agama, pandangan hidup, ideologi, paradigma dan teori.

Nah, setelah diyakini bahwa pengetahuan yang kita dapatkan ternyata banyak yang kita sendiri tidak terlalu tahu bagaimana asal usulnya; kenapa begini kenapa begitu. Namun sialnya, kita yang sebenarnya celingak-celinguk tentang pengetahuan itu ketika ada orang yang menanyakan sombongnya naudzubillah! Serasa hanya kita saja yang tahu, padahal pengetahuan kita belum tentu benar.

Untuk menyeimbangkan dan lebih menegaskan maka disinilah teori diperlukan dan menjadi penting. Teori sebenarnya bukan untuk kalangan intelektual atau kalangan expert an sich. Meski tidak sedikit yang berpandangan bahwa hanya kalangan intelektual atau akademisi saja yang membaca realitas sosial tidak dengan mata telanjang, melainkan dengan kacamata teori tertentu. Memang telah menjadi tradisi kalangan intelektual untuk membaca dunia menggunakan bingkai teori tertentu.

Ada yang menempatkan teori sebagai unsur utama dan pertama dalam memulai kajian ilmiah, oleh karena itu ada ungkapan no problem no science. Dalam konteks ini, teori bukan unsur pertama, melainkan hanya diposisikan sebatas pemberi inspirasi untuk mempetajam pencerapan realitas dan upaya pemecahan masalah dalam kehidupan ini.

Sesungguhnya Robert N Bellah mengatakan tidak ada realitas kehidupan yang dibaca telanjang dalam arti sebagaimana adannya. Cara kerja kaum intelektual, setiap kali kita harus melahirkan karya inteletualnya, memang tidak bisa lepas dari teori atau setidak-setidaknya tak bisa dipisahkan dari pengalaman pribadi nilai dan pangdangan dunia tertentu. Bahwa karya setiap orang bahkan ahli fisika nuklir sekalipun, berakar dalam mitos pribadi, dalam makna karyannya yang unik dan sebagian tidak disadari bahkan oleh dirinya sendiri.

Namun hal ini tidak dispesialkan hanya bagi kalangan intelegensia saja. Masyarakat awam sekalipun, seperti kita, sadar atau tidak, melihat realitas sosial tidaklah setelanjang yang dibayangkan orang. Setidaknya kalau toh tidak bisa dikatakan sebagai teori, maka sebuah pemahaman atas realitas yang dilakukan orang awam sekalipun selalu ada elemen yang bersumber dari bayangan mitos dan pengalaman batin secara pribadi.

Pengetahuan kita ini terdiri dari pengetahuan kita, itself yang terkait dengan pengetahuan aspek psikologis kita seperti arti hidup, mati, bahagia, sedih ; dan pengetahuan lain, otherself yang berkaitan dengan konteks sosial seperti; pengetahuan mengenai orang lain, masyarakat, bagaimana kita memandang realitas, pernikahan, dan lainya. Kumulasi pengetahuan-pengetahuan kita dan lain akan berkumpul dan menyusun sebagai bahan mentah padangan dunia dan membentuk konsep diri.

Kepentingan teori adalah memberi landasan bagi manusia melihat realitas kehidupan ini dari dimensi yang lebih inklusif mupun teori substansial yang memungkinkan manusia melihat realitas kehidupan ini secara partikular.

Sekarang mari kita bahas mengenai padangan dunia atau sering disebut dengan paradigma. Teori memang bukanlah sebuah pandangan dunia, tetapi ia memilik beberapa titik singgung. Betapapun teori dinyatakan bebas nilai, pada kenyataanya ia juga merukan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu. Oleh karena itu pada bagian ini mengajak untuk memahami seputar pandangan dunia, menyangkut konsep, elemen yang membedakannya dari sebuah paradigma berpikir.

Pandangan dunia dilihat dari segi isi memuat semua hal dan dari segi pengikut bersifat menyebar. Gamabaran tentang segala sesuatu dimunculkan dan persepsi yang kita peroleh dari penglihatan kita terhadap dunia sekitar. Karena padangan dunia yang dominan pada umumnyua dimiliki dan dijadikan pegangan oleh hampir seluruh anggota masyarakat, maka biasanya pandangan itu menjadi landasan masyarakat mendefinisikan realitas sosial.

Olsen mengartikan pandangan dunia sebagai "teropong mental" atau peta kognisi dan persepsi uang senantiada kita pakai untuk merumuskan cara hidup kita di tengah masyarakat. Menurut Olsen pandangan dunia yang berlaku du masyarakat bukan fenomena tunggal. Pandangan dunia tidak hadir sendirian, melainkan diiringi oleh berbagai pandangan dunia lain atau pandangan dunia alternatif.

Hanya masalahnya adalah seberapa jauh manusia dapat mengaktualisasikan pandangan dunia ke tengah kehidupan di mana ia hidup. Bisa nggak orang-orang melaksanakan apa yang diyakininya bener, bisa nggak melaksanakan apa yang sudah di omongin seperti yang rendra katakan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

Dalam hal ini, Olsen menemukan realitas yang menunjukkan bahwa pada umumnya orang suka beranggapan bahwa mereka menjaga konsistensi antara tindakan dengan pandangan dunia yang dimilikinya yang relatif utuh dan terjaga. Berbagai peristiwa yang merka hadapi mereka antisipasi dan respon berdasarkan cara-cara yang dinilainya sejalan dengan pandangan dunia yang mereka miliki, walaupun kenyataannya sering tidak menggambarkan konsistensi itu.

Misalnya, seorang pemimpin politik berpandangan bahwa memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan publik adalah sebuah keharusan tetapi ternyata tidak sedikit pemimpin yang bertindak tidak jujur. Mereka sepenuhnya memperhatikan kepentingan publik , kendati demikian mereka tidak mau dikatakan mengabaikannya. Mereka akan berkilah dengan menyatakan telah melakukan yang terbaik, padahal beberapa jaringan koordinasi dipangkas untuk kepentingannya. Dengan demikian mereka berusaha mencitrakan diri sebagai orang yang konsisten dan menolak telah bertindak atas dasar kepentingan mereka sendiri. Mereka dengan berani mengorbankan rakyat bahkan kekasihnya sendiri namun sayangnya kekasihnya juga tidak sadar bahwa sudah diperalat. Maka kita akan berkata cinta akan membutakan segalanya dan sekali lagi cinta tak membutuhkan logika.

Ketika tindakan seorang pemimpin politik menyimpang dari pandangangan dunianya maka dengan retorika ia akan mengalihkan model pemahaman peristiwa dengan membangun argumen misalnya apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang secara fungsional memang diperlukan, kerja kita memang udah maksimal katanya, kemudian mencari kambing hitam lainya maka takdir lah disalahkan bahwa kegagalan karena memang di luar jangkauan kita, selanjutnya mengendus-ngendus jikalau ada ayang mencium bau busuknya kemudian retorika orang kalah pun digunakan argumentasi kemanusiaan menjadi andala. Dengan kata lain kebohongan publik boleh dan perlu dilakukan untuk kepentingan keamanan nasional. Karena terdesak dengan keadaan tidak ada koordinasi kerja maka dilakukan oleh orang-orangnya saja. Jadi pandangan dunia seseorang bisa saja dan sering mengandung sejumlah kontradiksi.

Untuk mempermudah memahami sejumlah kontradiksi yang telah diutarakan dalam pandangan dunia maka perlu diurai sedikit mengenai, apa saja yang menjadi elemen padangan dunia. Dengan demikian menjadi tak terelakkan harus dimulai dengan mempelajari keyakinan atau sistem-sistem keyakinan serta nilai-nilai sosial tersebut.

Keyakinan, menurut Olsen, adalah gagasan spesifik mengenai berbagai aspek kehidupan yang diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh pemiliknya, tanpa memperdulikan munculnya berbagai fakta yang menyimpang dari apa yang diyakini tersebut. Sistem keyakinan merupakan merupakan dasar-dasar interrelasi keyakinan dari berbagai keyakinan yang berkaitan dengan kondisi sosial atau tipe aktifitas yang beraneka ragam.

Pada umumnya, kita cenderung lebih menyadari akan keyakina-keyakinan serta sistem keyakinan kita sendiri dari pada memahami pandangan dunia yang kiya miliki. Untuk maksud tertentu, biasanya kita bertindak secara rasional untuk menerima keyakinan-keyakinan dan sistem keyakinan kita, dan di saat lain kadang-kadang memilih dan memodifikasi ayai bahkan menolaknya.

Begitulah padangan secara teoritis bagaimana pandangan dunia dibentuk. Sekarang kita coba terapkan kepada orang yang memiliki pandangan dunia bahwa orang lain adalah penjara. Dengan alasan bahwa orang lain kadang memenjarakan kita. Kita ingin ini-itu, tanpa sadari, selalu dikontrol oleh orang lain. Kita ingin dilihat cantik dan tinggi maka kita terpaksa pake hak tinggi padahal kita sakit, lecet-lecet. Maka kita menyebut bahwa orang lain adalah penjara. Dan kita mengambil sikap jangan terlalu ngurusin dan nurutin perkataan orang lain. Kata orang lain kita ini feminis, kata orang lain pacar kita ini playboy memperalat, kata orang lain kita ini sombong, suka nyampurin urusan orang lain, kata orang lain kita bagusnya pake rok, kata orang begini dan begitu. Ucapan yang sering kita dengar adalah "malu atuh dilihatin sama yang lain" atau "gimana pandangan orang lain ya kalau saya begini" Dan kita nurut. Maka kita TERPENJARA dengan omongan orang lain. Kita berteriak ORANG LAIN ADALAH PENJARA…! JANGAN DENGERIN ORANG LAIN…! Jadi diri sendiri aja! Orang lain itu ngiri. Kita serta merta bertindak seenak kita, seenak udel, nggak mau 'dengerin nasehat oranglain, saran orang lain, kita lempeng aja. Karena orang lain adalah penjara. "Terserah gua, hidup hidup gua, apa urusannya dengan lo"

Tetapi disisi lain, ternyata omongan orang lain itu benar dan terbukti. Bahwa kita itu sombong, bahwa pacar kita itu playboy dan memperalat saja buat kepentingannya, bahwa kita itu jelek kalau nggak pakai rok, bahwa kita itu suka nyampurin urusan orang lain. Ternyata omongan orang lain itu benar. Jadi bagaimana? Keyakinan kita selama ini salah? Ucapan yang terdengar adalah "ah nggak, di mata gua pacar gua itu jujur. Nggak kaya gitu".

Dalam kasus ini, siapa yang mengetahui diri kita. Siapa yang benar, siapa yang salah. Misalnya, kita berkata kepada orang lain; bahwa kita itu pinter,jujur dan sebagainya. Tetapi orang lain nggak ngeliat kita kaya gitu. Maka secara otomatis orang lainlah yang banyaknya mengetahui kita ini kaya gimana, bukan diri kita lagi. Sebab, menurut Freud, kadang-kadang KITA NGGAK SADAR bahwa memang kita ini blo'onnya naudzubillah nggak ketulungan.

Lalu siapa yang benar aku atau orang lain? Tidak ada yang benar tidak ada yang salah. Yang salah itu kalau kita nggak 'nerima omongan orang lain, merasa kita benar padahal jelas salah. Yang jelek itu kalau kita nggak introspeksi diri. Salah NGOTOT lagi. Karena disatu sisi, kita adalah diri kita sendiri dan disisi lain kita adalah orang lain. Jalan tengahnya. Ucapan Voltaire sangatlah cocok "perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, karena itulah inti ajaran kemanusiaan". 'Dengerin perkataan orang lain dengan tanpa kecurigaan dan jangan mengangap diri kita ini benar. Selanjutnya hiduplah seperti biasa.

Itulah kontradiksi yang sangat kompleks dalam pandangan dunia atau konsep diri. Yang sangat berimbas kepada sikap hidup dan bagaimana kita menjalani rutinitas sehari-hari. Konsep diri ini menjadi sangat penting untuk mengatur sikap kita supaya lebih mantap dan tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Upaya menjauhi split personality, dan alienasi yang dikatakan oleh Erich Fromm. Untuk menutup akan saya kutipkan kata dari Bunda Theresa. Terimakasih teman, memberikan inspirasi tulisan ini. Dan cepat berubahlah kalau tidak aku yang berubah. Wallahu a'lam bish showab

Orang kerap kali tak bernalar, tak logis dan egosentris. Biar begitu, maafkanlah mereka.

Bila engkau baik, orang mungkin akan menuduhmu menyembunyikan motif yang egois. Biar begitu, tetaplah bersikap baik.

Bila engkau mendapat sukses, engkau bakal pula mendapat teman-teman palsu dan musuh-musuh sejati. Biar begitu, tetaplah meraih sukses.

Bila engkau jujurdan berterus terang, orang mungkin akan menipumu. Biar begitu, tetaplah jujur dan berterus terang.

Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin akan dihancurkan seseorang dalam semalam. Biar begitu, tetaplah membangun.

Bila engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri. Biar begitu, tetaplah berbahagia.

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, sering bakal dilupakan orang keesokan harinya. Biar begitu, tetaplah lakukan kebaikan.

Berikan pada dunia milikmu yang terbaik, dan mungkin itu tak akan pernah cukup. Biar begitu, tetaplah berikan pada dunia milikmu yang terbaik.

Ketahuilah, pada akhirnya, sesungguhnya ini semua adalah masalah antara engkau dan Tuhan; tak pernah antara engkau dan mereka.

-Bunda Teresa-

02 juni 2006

apresiasi

APRESIASI SENI; Dalam Rangka Hari Film Nasional

-pengantar diskusi-

Oleh; te. Ditaufiqrahman[1]

Carlos Saura

(ibu kesenian adalah imajinasi dan rasionalitas).

-Francisco De Goya-

Prolog

Tanggal 30 Maret, tepat di peringati hari perfilman nasional. Pada tahun 1950 Usmar Ismail membuat film The Long March (Darah Dan Do’a) yang kemudian hari pertama pengambilan gambarnya diusulkan menjadi hari film nasional, hal ini bukan tanpa alasan meskipun saya sendiri belum pernah menonton filmnya, tetapi yang jelas Darah Dan Do’a ini seratus persen Indonesia dari mulai pendanaan sampai ide yang genuine sangat Indonesia.

Selanjutnya, bagaimana nasib perfilman Indonesia sekarang? Begitulah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para sineas perfilman, yang kemudian dijawab dengan semangat film Indonesia mesti bangkit!

Apanya yang mesti bangkit? Itu mungkin pertanyaan bagi saya yang bukan insan perfilman. Sebenarnya saya juga termasuk insan perfilman tapi mungkin golongan yang “nggak serius”, maksudnya saya hanya menempati posisi sebagai penonton dalam kancah perfilman nasional bukan praktisi apalagi pencipta.

“Berkembangnya televisi swasta” JB Kristanto menegaskan dalam tulisannya Film Indonesia Dan Akal Sehat “bersamaan dengan surutnya produksi film Indonesia. Hijrahnya orang-orang film ke televisi” lanjutnya “ tidak hanya hijrah secara fisik, tapi juga secara pikiran. Yang terakhir ini dengan mudah bisa dilihat dari genre film khas yang ikut pindah ke televis; rumah tangga, remaja dan mistik”

Penting kiranya saya memposisikan terlebih dahulu film sebagai sebentuk karya seni modern. Hal ini sangat logis ketika sebuah pertunjukan teater dianggap sebagai sebuah puncak kulminasi kreativitas seni akan tetapi hal ini bukan berarti saya berpretensi untuk melebihkan salah satu aktivitas seni ketimbang yang lainnya, pertimbangan ini saya ajukan lebih dikarenakan pertunjukan teater dimungkinkan memuat berbagai macam karya seni mulai dari naskah, tarian, lukisan, nyanyian dan lain sebagainya.

Maka menganggap film sebagai bentuk teater modern adalah niscaya. Film lahir dan hadir di sebuah keluarga seni bak sebagai seorang anak. Namun bagaimana keadaan sang anak setelah dewasa, apakah sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh keluarga atau tidak itulah yang jadi persoalan Rosihan Anwar.

“ … kecuali sebagian kecil, film-film ini sama sekali tidak memperlihatkan keterlibatan social. Beberapa film mencoba berbicara tentang masalah social, tapi lantaran kurangnya persiapan dan pengenalan lingkungan maka masalah social yang ditampilkan terasa sangat dibuat-buat dan semu. Yang ingin kita lihat dalam film kita adalah gambaran dari manusia dan kehidupan Indonesia yang ada. Keinginan untuk menggambarkan ini ada pada beberapa film yang turut festival, tapi karena penggambaran tokoh maupun lingkungannya tidak utuh, maka gambaran itu tidak menjadi meyakinkan.

Penulis skenario, sutradara, dan editor belum menguasai wawasan dramaturgi yang memadai. Film-film peserta kali ini dipenuhi kejadian-kejadian kebetulan tidak bermotif… juga fotografi film kita masih ada pada tingkat menciptakan gambar-gambar yang baik. Fotografi dalam film kita belum memenuhi tuntutan dramaturgi. Demikian juga dalam ilustrasi musik dan pengarahan artistik” (kompas, 3 maret 1977 seperti yang dikutip dalam tulisan Jb Kristanto)

Dengan menggunakan standar dan penilaian yang disebutkan Rosihan Anwar di atas; Lantas bagaimana dengan sinetron yang mendominasi siaran televisi kita. Arswendo mengatakan “… kemudahan dianggap penyelesai masalah, sehingga proses tak penting benar. Kemudahan sudah terbiasa dalam sinetron; tokoh-tokohnya harus cantik dan tampan, sekali menelepon mendapat sambungan, selalu tersedia tempat setiap mau parkir, hidup berkecukupan tanpa jelas apa pekerjaannya; tapi bisa jahat tanpa alasan; nenek bisa membunuh cucu, mertua meracuni menantu, si cantik berpasangan suami tolol lahir batin dan atau kalau perlu berubah menjadi hantu”

Film, Televisi Dan Keterlibatan Sosial

Mungkin itu yang mesti dibangkitkan dalam perfilman Indonesia. Film mesti ada keterlibatan dalam wacana sosialitas sehari-hari dan hal ini diniscayakan oleh kehidupan dan sejarah idealisme sebuah karya seni. Begitu juga, televisi sebagai media yang mutakhir, mesti melibatkan diskursus realitas social yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Anggaplah televisi semisal Colloseum di Roma yang pada zaman dahulu berfungsi sebagai ruang public dan media untuk menyampaikan pesan-pesan dan gagasan-gagasan, pertunjukan teater sering dipertontonkan di dalamnya. Jadi ada perkenalan dan pertempuran nilai-nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma yang meliputi pandangan hidup seseorang, dalam hal ini pencipta naskah yang ditampilkan.

Saya menyandarkan tesis itu pada sebuah asumsi dasar bahwa film adalah sebuah karya seni dan karya seni adalah sejenis aktualitas kerja mental manusia yang paling jernih. Francisco De Goya, pelukis besar Spanyol mengatakan Carlos Saura; ibu kesenian adalah imajinasi dan rasionalitas[2].

Kalau saya mau mengkonfirmasikan ucapan De Goya dengan realitas pertelevisian sekarang, sangat ironic dan miris sekali, ketika sajian televisi lebih banyak mempertontonkan, seperti yang disebutkan oleh Arswendo diatas, kemudahan-kemudahan; mau parkir tersedia tempat, mau makan tinggal makan, hidup enak padahal nggak jelas pekerjaan. Penggambaran seperti ini tentunya sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang kita dapati sehari-hari. Sangat paradoks!

Kalaulah kita sepakat menerjemahkan film sebentuk realitas-virtual sebagai pantulan dari eksistensi masyarakat yang meliputi gaya hidup, pola pikir dan segala tetek bengek etos kehidupan lainnya, maka secara tidak langsung seni yang telah bermetamorfosa dalam wajah modernitas telah mempecundangi kenyataan. Para seniman kini tidak menciptakan karya atas dasar kejernihan batin dan pikirannya. Seni telah menjadi “air seni” yang berbau pesing.

Maka pada akhirnya, saya sering dibingungkan dengan sajian televisi; entah itu film, sinetron, kuis atau apapun acaranya, apakah yang digambarkan dalam televisi itu adalah realitas yang benar-benar terjadi dalam masyarakat? Harapan yang diinginkan oleh masyarakat dalam kehidupannya atau bahkan rasa frustasi masyarakat?

Mungkin saya perlu juga menginformasikan apa sebenarnya yang diinginkan bangkit dalam perfilman Indonesia, ada yang memahami secara substansial ada yang hanya sebatas formal. Pertama formalitas terkait dengan kuantitas maka yang dituntut dari kebangkitan perfilman adalah sering berkarya-nya para sineas film tak peduli bagaimana bobot film yang dikeluarkannya itu yang jelas ada produksi film

Misalnya, anggapan ini disinyalir dari, data-data sinematek Indonesia yang masih rajin mencatat produksi film Indonesia, menunjukan bahwa keruntuhan itu didasarkan pada besar kecilnya produksi. Sinematek mencatat kemunduran terjadi mulai tahun 1998 sementara tahun-tahun berikutnya 1999; tiga judul, 2000; tiga judul, 2001; empat judul dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Loetoeng Kasaroeng (1926), Siloeman Babi Perang Siloeman Monyet (1935), Darah Dan Doa (1950), Apa Jang Kau Tjari Palupi (1969), Kabut Sutra Ungu (1979), Wadjah Seorang Laki-Laki (1971) Cinta Pertama, Bulan Diatas Kuburan (1973), Perkawinan Dalam Semusim (1976), Mama (1972), Sesuatu Yang Indah (1976), Kembang-Kembang Plastik (1977), Pengemis Dan Tukang Becak (1978), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), Naga Bonar (1986)[3]

Kedua, pesoalan kualitas film yang dikeluarkan pun tak urung mendapat perhatian keras dari para pengamat film. Saya akan membagi hal ini kepada dua bagian, pertama incontent, terkait dengan elemen dasar dalam pembuatan film itu sendiri bagaimana tata artistiknya, musik, pengaturan peran, sinematography, editing gambar, penyutradaraan dan lainnya, kedua othercontent, hal inilah yang, meminjam istilah Rosihan, mencakup keberadaan film dan keterlibatan dengan lingkungan socialnya sehingga kita tidak akan mendapati film yang a social. Persoalan incontent inilah yang dalam teater diatur dalam dramaturgi.

Incontent dimaksudkan sebagai “logika dalam dirinya[4]”. Maksudnya adalah bahwa setiap karya seni memiliki logika sendiri yang sangat mungkin berbeda dengan realitas kehidupan biasa, bahkan juga dengan karya seni yang lain, meski dari jenis yang sama. “Logika dalam” inilah yang menyebabkan adegan berlari di atap-atap rumah atau perkelahian di pucuk bambu dalam film Crouching Tiger Hidden Dragon.

Tentang malaikat yang bisa malang melintang melintasi kota berlin tanpa kelihatan, dalam film Wing Of Desire, mendengar pikiran manusia dan ingin jadi manusia. Dua film yang sama-sama bersifat puitis ini menjadi sangat menarik saat diikuti dan juga sama-sama meyakinkan meski mungkin “tidak logis” bila dikaitkan dengan realitas sehari-hari.

Logika dalam ini atau incontent datang pada saat sang pencipta mengawali penciptaannya dalam bentuk apapun, ia bisa berimajinasi berupa karakter satu tokohnya, bisa juga plot sebuah cerita, sebuah masalah tertentu, sebuah citra tertentu atau sebuah gambar tertentu. Hal ini memang bukan hal baru bahkan mungkin sangat kuno. Dan posisinya sangat mendasar dalam penciptaan karya baik yang bersifat seni maupun yang serius maupun sekedar hiburan yang diniatkan untuk mencari uang semata.

Pada tataran operasionalisasinya incontent dan othercontent saling berkaitan, begitu sudah menetapkan awalan tadi, maka pencipta tidak lagi bebas. Ia harus mematui konsekuensi logis dari yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ia tidak lagi bisa semena-mena memperlakukan tokoh ciptaannya atau jalan cerita yang sudah disusun awalannya. Ini merupakan hukum umum dasar penciptaan karya seni dari jenis apapun. Hal ini pulalah yang menyebabkan perlunya ada penelitian khusus dan mendalam mengenai apa yang diperlukan sampai ke soal-soal yang sangat sepele sekali seperti jenis tata rambut, pakaian, tingkah laku dan lain-lain. Ketika sudah menetapkan elemen incontent maka mau tidak akan berimplikasi pada penentuan bentuk othercontent-nya.

Berikut saya petikkan contoh pemugaran incontent dan othercontent oleh Jb Kristanto “… maka Beth banyak bicara soal besar, sekaligus bisa juga dikatakan tidak berbicara apa-apa, karena hal-hal besar tadi tidak diuraikan dengan cukup memadai. Hal yang paling besar yang ingin inyatakan kira-kira adalah bahwa masyarakat kita sakit, sama dan sebangun dengan dunia rumah sakit jiwa yang dijadikan tempat peristiwa berlangsung. Karena tokoh-tokohnya adalah orang dengan kelainan jiwa, maka penulis scenario maupun sutradaranya (Nana G Mulyana dan Aria Kusumadewa) mera bisa berbuat dan menyatakan apa saja, tanpa pemahaman cukup tentang jenis-jenis penyakit jiwa yang sangat beragam dan dengan dirinya akibat pada tingkahnya juga sangat beragam”

“Lantas dengan demikian” lanjut Kristanto “ lewat tokoh-tokoh sakit jiwa ini, penciptanya seolah-olah bebas melontarkan apa saja yang ingin dilontarkan, tanpa harus berkutat cukup keras apakah itu sesuai dengan ‘kenyataan’ rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang jadi dunia rekaan yang diciptakannya”

Maka idealnya, seorang seniman dalam mencipta karya mesti berlandaskan pada fakta-fakta social yang terjadi di masyarakat. Sehingga proses penciptaan tidak lebih menekankan pada sisi imajinasi. Padahal, imajinasi seliar apapun akhirnya harus tunduk pada hukum penciptaan yang lain yaitu logika.

Dengan demikian ada tuntutan moral yang seharusnya diemban oleh seorang seniman dalam mencipta sebuah karya. Sehingga karya yang diciptakannya tidak a sosial dan a historis. Terlepas pada adanya aliran dalam setiap proses kesenian; idealis, realis, ekspresionis dan lain sebagainya yang jelas sebuah ide tidak muncul dari ruang hampa semisal kehidupan tak berasal dari tiada, creation ex nihilo.

Film Dan Televisi; Sudut Pandang Tonton-Penonton

Tentunya sangat berbeda sekali bagaimana seorang praktisi film dan televisi dengan penonton memandang sebuah tontonan; film, sinetron, reality show, teater jenis tontonan lainnya. Pada kesempatan, kali ini saya akan mengemukakan beberapa anggapan dasar tentang tonton-menonton dalam catatan Putu Wijaya.

“Apa sebetulnya tontonan itu?” begitu aju putu “setiap hari hari kita melihat banyak hal yang sama kalau ada yang terlihat aneh dan lain, baik karena lucu, sedih, menyentuh perasaan, membangkitkan semangat, membuat jengkel dan lain sebagainya, termasuk yang memberikan tikaman keindahan. Kita menyimpannya sebagai kenangan

Tontonan sebagai kesenian dengan demikian berfungsi memilihkan begitu banyak unsur tontonan dalam kehidupan nyata, menjadi satu paket ia juga befungsi untuk mengahadapkan secara bersama-sama mengalami satu peristiwa yang sama.

Totonan sebagai kesenian dengan demikian tidak benar-benar murni kejadian. Didalamnya ada ide. Ada unsure pemaketan. Ada pengarahan, ada sentuhan-sentuhan manusia sehingga tontonan tersebut benar-benar memiliki kencenderungan konteks, karena ia memang merupakan alat komunikasi antara seorang creator dengan penonton. Ia mempunyai fungsi social selain disiplin artistic.

Penonton di samping, berbeda kepala dan perasaan, berbeda pula kepentingannya. Makin beragam jenis tontonan yang muncul, makin banyak nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Dan makin banyak seorang penonton dapat menerima arus tersebut, makin terbukalah cara berpikirnya. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa seni tontonan yang sedang berkembang adalah potret batin masyarakatnya. Barangkali boleh dikatakan, menilai keadaan suatu masyarakat cukup dengan meneliti seni tontonannya.

Seni tontonan pada akhirnya juga mewakili juga hasrat masyrakat, impian dan kenyataan yang sedang berjalan, atau masa lalu yang tetap hidup. Dalam kehidupan, seni tontonan merupakan jendela yang berfungsi majemuk. Baik sebagai tempat untuk menghibur diri, menambah pengetahuan, maupun untuk keseimbangan rohani. Seni tontonan merupakan peragaan dari fungsi-fungsi tersebut.

Tetapi yang paling menarik, seni tontonan, selalu hadir sebagai hiburan. Fungsinya yang begitu banyak dan penting tidak menakutkan masyarakat, sehingga tontonan tetap hadir akrab dan mesra dengan masyarakat. Tapi bagi mereka yang suka bertanya-tanya, suka menyelidik dan mengorek-ngorek, pasti segera dapat memahami bahwa di balik baju tontonan yang sederhana dan akrab itu ada perenungan nilai-nilai kehidupan yang terus bergrak. Sebagai akibatnya, tontonan selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya, sekaligus tak pernah kehilangan bobot dan nilai artistiknya.

Di dalam konsep tontonan, tidak semua penontn benar-benar menonton. Mungkin mata mereka terbuka, tapi pikiran mereka tidak dapat mencerna. Ada yang terlibat secara rohani. Ada yang melihat, mendengar akan tetapi sementara itu saluran aktivitas rohaninya tetap berjalan sendiri sehingga selama pementasan berlangsung, ia juga melakukan pementasan sendiri di dalam dirinya. Ada juga yang sama sekali tidur di dalam pertunjukkan akan tetapi ketika usai ia dapat mengatakan apakah baik atau buruk.

Ada juga yang hanya menonton satu kalimat yang terpenting di dalam keseluruhan dialog yang dimuntrahkan atau satu adegan kecil dari rentetan adegan yang berjam-jam lamanya. Juga ada yang terus berbicara selama pertunjukan berlangsung akan tetapi mengerti apa yang sedang terjadi. Ada yang hanya menonton satu menit lalu pergi karena sudah merasa tahu.

Sebagian lagi dari rumah sudah memastikan akan menonton apa lalu menonton menjadi usaha untuk mencari apa yang sudah diduganya. Ada lagi yang ingin menonton sesuatu yang sangat disukainya dan langsung bereaksi berang manakala tidak menemukan itu. Dan akhirnya ada juga yang menonton dengan tekun dari a sampai z tetapi tidak pernah benar-benar hadir secara utuh dalam peristiwa itu.

Belum lagi diornamentasi-I dengan perbedaan status social, ekonomi, agama, intelektual, pandangan politik, prinsip moral, opini dan kepekaan dalam menerima. Belum lagi ditambah dengan perlengkapan emosional. Sebab sebuah tontonan adalah sebuah pesona yang mengandung rencana. Ia memiliki latar belakang, tema, isi, arah dan kecenderungan, sasaran, cita-cita, bentuk, komposisi, dialog, proses dan persiapan-persiapan. Meskipun tontonan seringkali tampi sewajarnya seolah tanpa perencanaan.

Namun kalau dibongkar akan muncul kode-kode rahasia yang menunjukkan bahwa ia benar-benar telah diproses dengan teliti. Tontonan adlah sebuah kreasi manusi yang tercipat dengan kesadaran atau bawah sadar creator. Sebuah tontonan memiliki bingai, sudut pandang, interpretasi dan sentuhan yang akan memformatnya menjadi sesuatu yang layak ditonton.

Sebuah tontonan tidak pertah tanpa rencana. Tidak pernah tanpa tujuan termasuk kalau tujuannya tanpa sebuah tujuan dan rencana. Ia tidak dating dan terjadi begitu saja. Ada konsep, ada proses, ada pengendapan, ada perenungan, pemikiran. Tontonan adalah pangkalan untuk melancarkan kritik dan protes. Untuk mengajak penonton memikirkan kembali nilai-nilai yang sudah disepakati atau diyakini. Untuk meyakini atau meraguakan manusia awas melangkah dalam kehidupan selanjutnya.

Tontonan adalah sebuah alat ekspresi. Untuk melontarkan buah pikiran, gagasan, renungan, perasaan-perasaan manusia perorangan atau kelompok manusia.

Pakem Dalam Menonton

Berbicara masalah pakem menonton tentunya tidak bisa tidak akan membicarakan masalah pandangan pribadi. Karena terkait dengan menonton tentunya pula mengunakan nalar, persepsi, paradigma dan panadngan dunia yang sangat terkesan subjetif.

Dua orang menonton satu film tidak akan menjamin akan memiliki pemahaman yang sama akan film itu pasti berbeda. Karena itulah kekhasan dan keunikan manusia. Tak pernah sama dan tak akan selalu beda. Kendati semuanya menjadi kumpulan subjektifitas akan tetapi ada pakem yang membuat segalanya bisa objektif.

Salah satu pakem objektivitas itu adalah; fakta. Dalam hal ini, biarkan film itu berbicara apa adanya tanpa disertai pra asumsi yang liar disertai harapan, keinginan atau yang lainnya, hal ini diniscayakan perlu setidaknya untuk mengurangi subjektivitas pendapat. Secara teoritis hal ini terkesan sangat fenomenologis.

Selanjutnya dalam rangka menonton film perlu digunakan sudut pandang mana yang hendak dipakai untuk memahami sebuah film karena sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.

Misalnya apakah kita akan membicarakan film dalam “logikanya sendiri” bagaimana penata artistiknya, bagaimana plot yang dibangun dalam keseluruhan film itu? Apakah sudah mendukung pesan dari film itu sendiri atau belum? Editingnya, apakah tidak terlalu banyak shot yang basi dan mubadzir, pencahayaan dalam gambarnya dan hal lainnya lagi yang terkait dengan sinematografhy .

Atau malah kita akan memperbincangkan film itu dalam othercontent; apa pesan yang hendak disampaikan? Bagaimana cara film itu menyampaikan pesannya itu? Kenapa film menyampaikan pesan itu apa yang melandasi munculnya film itu?

Akhirnya, membicarakan sebuah film tak lain dan tak bukan semisal membicarakan sebuah kehidupan yang sama runyamnya untuk bisa mengerti satu orang saja. Sebab dalam film dimunculkan kejadian dan tak ada satu orang yang akan mempersepsi sama terhadap satu kejadian.

Selamat mempersepsi tanpa sabuk pengaman!.

Wallahu ‘alam bishowab.

Bandung 31 maret 2007



[1] Penulis adalah Koordinator Jarik (Jaringan Islam Kampus) Bandung, Jaringan Intelektual Muda (JIM) MABIM sekarang menjabat sebagai ketua umum LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman),

[2] Bentara, Jb Kristanto “Film Indonesia Dan Akal Sehat” (Jakarta, Penerbit Buku Kompas; 2002) hal 226

[3] Ibid … hal 215

[4] Saya mendasari penjelasan ini pada tulisan Jb Kristanto, Film Indonesia Dan Akal Sehat